Hari Keadilan Sosial Dunia, yang diperingati setiap tanggal 20 Februari, menjadi momentum global untuk mendorong kesetaraan, inklusivitas, serta penghapusan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam berbagai aspek kehidupan. Secara historis, International Labour Organization (ILO) memegang peran penting dalam inisiatif ini, dengan menekankan pentingnya pekerjaan yang layak, upah yang adil, dan praktik ketenagakerjaan yang setara sebagai dasar untuk mencapai keadilan sosial. Hari Keadilan Sosial Dunia juga menjadi pengingat tanggung jawab negara untuk melindungi hak-hak pekerja, baik di sektor formal maupun informal. Di Indonesia, refleksi ini semakin relevan dengan meningkatnya peran pekerja informal dalam ekonomi digital, khususnya pengemudi Ojek Online (Ojol). Sebagai bagian dari tulang punggung ekosistem ekonomi digital, Ojol menghadapi tantangan hukum yang membatasi akses mereka terhadap hak-hak mendasar sebagai pekerja.
Di Indonesia, hubungan antara Ojol dengan Perusahaan Aplikasi berada dalam posisi yang unik. Hubungan antara Ojol dengan Perusahaan Aplikasi didefinisikan sebagai hubungan kemitraan, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Penggunaan Sepeda Motor (Permenhub 12/2019). Hubungan kemitraan berbeda secara fundamental dengan hubungan kerja sebagaimana diatur Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Kemitraan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU UMKM), adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, yang melibatkan pelaku UMKM dengan Usaha Besar. Selanjutnya Pasal 34 ayat (1) UU UMKM mendefinisikan perjanjian kemitraan sebagai perjanjian tertulis yang setidaknya mengatur kegiatan usaha, hak dan kewajiban para pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang didasari perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan memuat lebih rinci atas definisi perjanjian kerja, yaitu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Dengan demikian, Status Ojol sebagai mitra menempatkan mereka di luar cakupan perlindungan hukum ketenagakerjaan, sehingga tidak menjamin hak mendasar seperti jaminan sosial, upah minimum, dan perlindungan kerja.
Atas ketentuan-ketentuan tersebut, hubungan kemitraan antara Ojol dengan Perusahaan Aplikasi tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja, yaitu seperti tidak terdapatnya penentuan upah maupun waktu kerja. Situasi tersebut memberikan fleksibilitas kepada Perusahaan Aplikasi, tetapi sekaligus menghilangkan akses Ojol terhadap hak-hak pekerja yang dijamin dalam hukum ketenagakerjaan. Ketimpangan posisi ini mencerminkan kekosongan hukum dalam peraturan hubungan kerja berbasis digital. Sebagai pekerja informal, Ojol tidak dilindungi oleh regulasi yang memadai, meskipun Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi seluruh warga negara. Diperlukan pembaharuan terhadap hukum ketenagakerjaan untuk mengakomodasi pekerja yang berkonsep kemitraan. Indonesia dapat mencontoh hukum ketenagakerjaan Britania Raya, yang memasukkan definisi ‘Pekerja Gig’ atau pekerja tidak tetap dengan karakteristik pekerjaan yang independen, temporer, berdasar proyek jangka pendek, dan fleksibel. Dengan demikian, Ojol dapat diakui sebagai pekerja yang berada dalam cakupan lindunan hukum ketenagakerjaan Indonesia.
Hari Keadilan Sosial Dunia menjadi momentum refleksi bahwa regulasi yang inklusif dan berorientasi kesejahteraan merupakan langkah penting untuk melindungi hak Ojol di Indonesia. Di tengah perkembangan zaman dan pergeseran gaya hidup masyarakat yang menjadi semakin modern, Ojol yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian berhak mendapatkan perlindungan hukum yang layak, termasuk akses terhadap jaminan sosial, upah layak, dan kondisi kerja yang aman. Melalui pembaharuan hukum ketenagakerjaan Indonesia untuk mengakomodasi pekerja berkonsep kemitraan, Indonesia dapat memastikan prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI 1945 benar-benar terwujud.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:
Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Artikel hukum ini ditulis oleh Anggia Hanifa – Intern DNT Lawyers.
Sources:
- Chesya, Celine Catleya. “Analisis Perlindungan Hukum Bagi Pengemudi Ojek Online Pasca Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja”. Proceedings Series on Social Sciences & Humanities 17 (Juni 2024): 181-185
- Dewanta, I Made Tegar, Rizal, Moch Choirul, dan Farid, M. Lutfi Rizal. “Menyoal Tuntutan Driver Online terhadap Perubahan Hubungan Kemitraan Menjadi Hubungan Kerja dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”. DiH: Jurnal Ilmu Hukum 19, no. 1 (Februari 2023): 53-61
- JDIH Sukoharjokab. “Meninjau Posisi Mitra Ojek Online Dalam Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia”. Diakses pada 9 Februari 2025. https://jdih.sukoharjokab.go.id/berita/detail/meninjau-posisi-mitra-ojek-online-dalam-hukum-ketenagakerjaan-di-indonesia
- United Nations. “World Day of Social Justice 20 February”. Diakses pada 7 Februari 2025. https://www.un.org/en/observances/social-justice-day#:~:text=On%2026%20November%202007%2C%20the,World%20Day%20of%20Social%20Justice
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
- Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
- Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Penggunaan Sepeda Motor.