Apakah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat Dilakukan Tanpa Transparansi dan Partisipasi Publik?

Beberapa waktu yang lalu, kelompok gabungan masyarakat sipil ‘memergoki’ pembahasan penyusunan RUU TNI yang dilaksanakan oleh Komisi I DPR RI dan pemerintah di Hotel Richmond pada hari libur. Padahal, dalam tahap pembentukan peraturan perundang-undangan masyarakat sipil memiliki hak untuk:

a. memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapannya;
b. dapat mengakses Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan;
c. melakukan kegiatan konsultasi publik melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, dan/atau kegiatan konsultasi publik lainnya.

Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Susi Harijanti, proses penyusunan dan pembahasan RUU TNI tersebut tidak menunjukkan praktik democratic law making, malah sebaliknya abusive law making, yakni praktik autocratic legalism. Praktik penyusunan RUU seperti itu tidak dilandasi asas keperluan atau kebutuhan masyarakat luas, melainkan hanya ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu. Oleh karena itu, praktik semacam ini harus dilawan, karena konstitusi mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan wajib menerapkan prinsip transparansi dalam prosesnya, yaitu berupa pemberian akses terhadap Naskah Akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangannya kepada masyarakat sipil. Terkait partisipasi, legislator wajib melakukan konsultasi publik sebagai sarana bagi masyarakat sipil yang ingin menjalankan haknya untuk memberikan masukan, baik secara lisan maupun tertulis.

Dalam hal peraturan perundang-undangan berhasil dibentuk tanpa adanya transparansi dan melibatkan partisipasi publik, peraturan perundang-undangan tersebut dapat dimohonkan pembatalannya ke Mahkamah Konstitusi akibat adanya cacat prosedur dalam tahapan penyusunannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Implikasi hukum apabila dikabulkannya permohonan tersebut oleh Mahkamah Konstitusi, seluruh pasal dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak akan berlaku karena dibatalkan.

Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan wajib dilakukan dengan transparansi dan melibatkan partisipasi publik dalam tahapannya, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 juncto UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan konstitusi yang melandasi hak masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terhadap tahapan tersebut.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Mochammad Yufa Sofyan – Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82).
  • Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143).
  • DA, Ady Thea. “Guru Besar HTN Unpad: Terindikasi Abusive Law Making, Revisi UU TNI Harus Dibatalkan.” Hukumonline.com. Maret, 17 2025. https://www.hukumonline.com/berita/a/guru-besar-htn-unpad–terindikasi-abusive-law-making–revisi-uu-tni-harus-dibatalkan-lt67d79e45999d8/?page=all.
  • Rishan, Idul. “Konsep Pengujian Formil Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi, 18, No. 1, Maret (2021).
Related Posts
WhatsApp chat