Pembelaan Diri Bila Dituduh atau Dinyatakan Wanprestasi?
Adapun alasan yang Anda bisa gunakan untuk membela diri bila dituduh atau dinyatakan wanprestasi, sebagai berikut:
1. Mengajukan adanya keadaan memaksa (overmacht).
Menurut Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dalam keadaan memaksa atau overmacht debitur tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban karena keadaan ingkar janji timbul di luar kemauan atau kemampuan debitur (Pasal 1244 KUHPer)
Selengkapnya Pasal 1245 KUHPer berbunyi:
“tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau membuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”
2. Mengajukan bahwa kreditor sendiri sebelumnya telah lalai (exeptio non adimpleti cintractus)
Menurut Riduan Syahrani, “Exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu”[1]
Selanjutnya J Satrio berpendapat prinsip exceptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang menyatakan bahwa kreditor sendiri belum berprestasi dan karenanya kreditor tidak patut untuk menuntut debitor berprestasi. Tangkisan ini dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditor akan pemenuhan perjanjian. Sudah bisa diduga, bahwa tangkisan ini hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik saja[2]
Adapun prinsip exceptio non adimpleti contractus ini diatur dalam Pasal 1478 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya”.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prinsip exceptio non adimpleti contractus hanya berlaku pada perjanjian yang sifatnya timbal-balik, dan debitur tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan wanprestasi bila faktanya kreditur yang telah lebih dulu wanprestasi.
3. Mengajukan pembelaan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechsverwerking)[3]
Secara prinsip, yang dimaksud pihak kreditur melepaskan haknya atas tuntutannya kepada pihak debitur adalah bahwa pihak kreditur telah mengetahui bahwa ketika pihak debitur mengembalikan barang yang diperjanjikan, pihak kreditur telah mengetahui bahwa waktu pengembalian barang sudah terlambat selama seminggu. Akan tetapi atas keterlambatan tersebut pihak kreditur tidak mengajukan keberatan ataupun sanksi maka terhadap debitur yang terlambat mengembalikan barang, dapat diartikan bahwa pihak kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut si debitur yang sudah jelas wanprestasi.
Melepaskan hak juga bisa dikaitkan dengan daluwarsa untuk menuntut yang mengakibatkan hapusnya hak disatu pihak atau diperolehnya hak dipihak lain. Hal ini sering terjadi dalam kasus kepemilikan tanah ataupun harta benda. Hal ini diantaranya diatur dalam Pasal1963 KUH Perdata menyatakan:
“segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya suatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk”
Beberapa putusan Mahkamah Agung sebagai berikut:
a. Putusan MA No. 147 K/Sip/1955 tanggal 19 Juli 1955, kaidah hukumnya menyatakan:
“orang yang telah menggadaikan barang pakaian emas, yang setelah pemegang gadainya meninggal tidak memenuhi panggilan berulang kali dari ahli waris untuk menghadiri pembagian harta warisa dan selama tujuh tahun diam saja, dianggap telah melepaskan haknya untuk menebus barang yang telah digadaikannya”
b. Putusan MA No. No. 200K/Sip/ 1974 tanggal 11 Desember 1975, kaidah hukumnya:
“Keberatan yang diajukan penggugat untuk kasasi bahwa hukum adat tidak mengenal daluwarsa dalam hal warisan tidak dapat dibenarkan, karena gugatan telah ditolak bukan atas alasan daluwarsanya gugatan, tetapi karena dengan berdiam diri selama 30 tahun lebih penggugat asal dianggap telah melepaskan haknya (rechtsverwerking)”.
Ingat!!! Ketiga alasan-alasan di atas tentu hanya bisa digunakan sebagai alasan pembelaan bila didukung dengan alat-alat bukti yang sah dan cukup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Sekian, semoga bermanfaat.
[1] H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hal. 242
[2] J. Satrio, Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV), Kamis 11 November 2010, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-segi-hukum-tentang-somasibagian-iv-brioleh-j-satrio-, diakses pada tanggal 18 Juni 2018.
[3] R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1992. hlm. 45
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/