Tidak Bisa Memenuhi Perjanjian, Pidana atau Perdata?
Sejak pandemi, banyak sekali masyarakat konsultasikan masalah hukumnya ke DNT LAWYERS terkait ketidakmampuan memenuhi kewajiban dalam perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian kerjasama bisnis karena alasan krisis covid-19. Tidak jarang dari mereka akhirnya dilaporkan ke Polisi bahkan ditahan.
Pertanyaannya antara lain “apakah kalau saya tidak mampu lagi membayar saya akan dipidana?” “apakah jika keuntungan sebagaimana diperjanjikan tidak bisa saya penuhi saya akan dipidana?” dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya, perjanjian merupakan hubungan perdata, apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan pasal 1365 B.W., orang tersebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji. Tapi banyak terjadi orang dilaporkan polisi bahkan dipenjara karena tidak memenuhi janji yang telah ditentukan.
Masalah ini sejak lama menimbulkan permasalahan hukum, kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya dilakukan secara perdata, dan kapan seseorang dikatakan telah melakukan penipuan sehingga penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.
Untuk menjawab masalah tersebut, Mahkamah Agung telah menetapkan kaidah hukum yang dituangkan dalam Yurisprudensi No 4/Yur/Pid/2018 yang mana pada intinya menyebutkan:
Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, KECUALI JIKA PERJANJIAN TERSEBUT DIDASARI DENGAN ITIKAD BURUK/TIDAK BAIK.
Berdasarkan kaidah tersebut, pada prinsipnya pihak yang tidak memenuhi perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan melainkan wanprestasi yang masuk dalam ranah perdata, hal itu antara lain ditemukan dalam yurisprudensi berikut:
Putusan No. 598 K/Pid/2016 (Ati Else Samalo)
Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp. 4.750.000,00 (empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, namun terdakwa tidak mengembalikan hutang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang diperjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Putusan No. 1316 K/Pid2016 (Linda Wakary)
Karena kasus ini diawali dengan adanya perjanjian jual beli antara saksi korban dengan terdakwa dan terdakwa tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian itu, oleh karenanya perkara a quo adalah masuk lingkup perdata. Sehubungan dengan itu, maka terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum.
Putusan No 902 K/Pid/2017 (Asmawati)
Bahwa perkara a quo bermula dari adanya pinjam meminjam sejumlah uang antara terdakwa dengan korban, namun pada saat jatuh tempo yang dijanjikan terdakwa tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut, sehingga merupakan hutang dan masuk ranah perdata, sehingga penyelesaiannya melalui jalur perdata.
Namun sesuai kaidah hukum diatas, tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan, apabila perjanjian dibuat dan didasari dengan itikad buruk/tidak baik, adanya niat jahat untuk merugikan orang lain, seperti misalnya menggunaan martabat atau keadaan palsu atau tipu muslihat, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi tetapi tindak pidana penipuan.
Hal tersebut antara lain terdapat dalam Putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yang menyebutkan:
Bahwa alasan kasasi terdakwa yang menyatakan kasus terdakwsa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya hutang piutang, antara terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran, dan itikad buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.
Menurut dasar yurisprudensi dan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan agar anda ingin terlepas dari jeratan hukum pidana karena tidak mampu menjalankan suatu perjanjian, maka anda harus membuktikan bahwa perjanjian dilaksanakan dan didasari dengan kejujuran dan itikad baik. Gunakanlah Penasehat Hukum yang terbaik untuk mendampingi anda dalam membuktikan hal tersebut sehingga anda bisa terlepas dari jeratan pidana penipuan.
Artikel hukum ini ditulis oleh DNT Lawyers. Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 6329-683 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).