Pasal Untuk Mentersangkakan Hary Tanoe Inkonstitusional
15 Juni 2017 Hary Tanoesoedibjo (HT) ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri karena mengirim SMS/WA yang diduga bernada pengancaman kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Yulianto. Atas dasar itu HT dikenakan Pasal 29 UU Nomor 11/2008 tentang ITE jo pasal 45B UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan UU ITE Nomor 11/2008, (UU ITE) yang berbunyi:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”
Dalam tulisan ini saya akan bahas dua hal, Pertama, Pengancaman bukan merupakan tindak pidana Kedua, Pasal 29 UU ITE yang dituduhkan ke HT Inkonstitusional.
I. Pengancaman bukan merupakan tindak pidana
Pengancaman bukan merupakan tindak pidana. Yang merupakan tindak pidana adalah pemerasan, sementara pengancaman adalah cara untuk melakukan tindak pidana pemerasan.
Di dalam Pasal 29 UU ITE ada dua frasa dalam unsur pasal tersebut yang penting, yaitu frasa “ancaman kekerasan” dan “menakut-nakuti”. Pertama saya akan bahas lebih dulu soal frasa “ancaman kekerasan”.
Dalam UU ITE tidak dijelaskan apa itu ancaman kekerasan. Namun UU ITE tegas menyatakan, pengancaman yang diatur dalam UU ITE merujuk pada KUHP. Sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 27 ayat 4 UU ITE, berbunyi: “Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “ Sehingga terkait penjelasan soal pengancaman dan ancaman kekerasan harus merujuk pada KUHP.
Definisi pengancaman dan ancaman kekerasan dalam KUHP?
Bab XXIII KUHP mengatur soal Pemerasan dan Pengancaman yakni Pasal 368 sampai Pasal 371 KUHP. Namun Bab tersebut juga tidak memberikan definisi jelas baik soal pemerasan maupun pengancaman. Kita hanya bisa tahu apakah perbuatan itu pemerasan atau pengancaman dari bunyi setiap pasal-pasalnya.
Jika diteliti, meski judul Bab XXIII KUHP adalah “Pemerasan dan Pengancaman” namun yang merupakan perbuatan pidana/tindak pidana dalam bab tersebut adalah tindak pidana pemerasan, bukan pengancamannya. Pengancaman adalah cara untuk melakukan pemerasan. (lihat Pasal 368 ayat 1 KUHP).
Yang dimaksud pemerasan menurut KUHP adalah dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum agar orang (yang diperas) memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang.
Sementara tindakan pengancaman adalah cara yang digunakan untuk memeras, yang bisa berupa kekerasan, ancaman kekerasan (lihat Pasal 368 ayat 1 KUHP), ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau ancaman akan membuka rahasia (lihat Pasal 369 ayat 1 KUHP).
Adapun yang dimaksud ancaman kekerasan adalah menggunakan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani ini penggunaannya tidak kecil. Kekerasan dalam pasal ini termasuk didalamnya adalah memukul dengan tangan, menendang dan sebagainya. Unsur ini mensyaratkan bahwa dengan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan ini, pemilik barang menyerahkan barang tersebut kepada pelaku. Penggunaan kekerasan ini harus berdasarkan niat agar pemilik barang menyerahkan barangnya. (R. Soesilo, KUHP : 1995;98).
Jadi simpelnya, yang merupakan tindak pidana adalah pemerasannya. Pemerasan tersebut dilakukan dengan cara mengancam (pengancaman) dimana bentuk pengancamannya berupa ancaman kekerasan.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara substansi yang merupakan tindak pidana adalah pemerasan, bukan pengancamannya. Sedangkan pengancaman adalah cara untuk melakukan pemerasan, meski secara formil di dalam KUHP maupun dalam UU ITE nyata-nyata terdapat frasa “pengancaman” yang seolah-olah menjadikannya suatu tindak pidana.
Dikaitkan dengan konteks UU ITE, maka seseorang bisa dikatakan melakukan tindak pidana sebagaima dimaksud Pasal 29 UUITE khususnya melakukan “ancaman kekerasan” jika perbuatan orang tersebut memenuhi 4 (empat) unsur ini: (1) mengirimkan pesan elektronik secara pribadi kepada orang lain (2) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, (3) memaksa orang lain dengan ancaman kekerasan (mis: memukul, membunuh, dsb), (4) tujuannya untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang.
Pertanyaannya apakah SMS/WA HT kepada Jaksa Yulianto memenuhi ke-empat unsur di atas? silahkan nilai sendiri.
II. Inkonstitusionalitas Pasal 29 UU ITE
Terdapat satu frasa lagi dalam Pasal 29 UU ITE yang mungkin bisa menjerat HT. Yaitu frasa “menakut-nakuti”.
Di dalam UU ITE tidak dijelaskan definisi “menakut-nakuti”. Sehingga menjadi rancu kapan suatu perbuatan dianggap menegur, memperingatkan atau menakut-nakuti.
Kalau saya sms teman saya agar dia jangan menyuap aparat karena bisa ditangkap polisi/KPK, apakah yang saya lakukan itu menegur, memperingatkan, atau malah menakut-nakuti? Bagaimana kalau ternyata teman saya merasa sms saya tersebut sudah membuatnya takut/”menakut-nakuti” dia? apakah saya bisa dijerat dengan Pasal 29 UU ITE?
Ketidakjelasan frasa “menakut-nakuti” dalam Pasal 29 ini dapat menimbulkan penafsiran yang bermancam-macam karena tidak ada ukuran (objektif) yang jelas, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian dan memungkinkan pasal ini disalahgunakan untuk mengkriminalisasi orang lain. Sehingga menurut saya telah bertentangan dengan asas hukum Lex Certa, dan menjadikan Pasal 29 UU ITE ini Inkonstitusional.
Pasal 29 UUITE melanggar asas Lex Certa
Tidak adanya definisi atau penjelasan yang jelas menurut Undang-Undang khususnya mengenai frasa “menakut-nakuti” membuat Pasal 29 UU ITE multitafsir, subjektif, dan tidak memberikan kepastian hukum (pasal karet).
Padahal di dalam hukum pidana dikenal asas lex certa (bestimmtheitsgebot) yaitu, pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. (lihat R. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm 50.)
Tidak jelasnya konsep “menakut-nakuti” dalam peraturan perundang-undangan membuatnya rentan disalahgunakan (misused). Bisa saja pasal ini dijadikan alat untuk membungkam dan “menyingkirkan” orang-orang yang selama ini dianggap mengganggu. Tergatung kepentingan siapa yang muncul paling dominan, sehingga sudah bukan lagi untuk kepentingan penegakan hukum secara adil namun untuk kepentingan-kepentingan yang lain di luar hukum. Di sisi lain, menurut Saya siapapun bisa menjadi korban ketidakadilan dan kriminalisasi dari Pasal 29 UU ITE yang tidak jelas ini.
Pasal 29 UU ITE Inkonstitusional
Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Ketidakjelasan Pasal 29 UUITE khususnya frasa “menakut-nakuti” membuat pasal ini tidak dapat diukur secara objektif (tidak ada kepastian hukum). Seandainya dapat diukur maka ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum semata (tidak adil).
Saya ingat putusan Mahkamah Konsitusi No. 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014, yang menyatakan Pasal 335 ayat 1 KUHP khususnya frasa “perbuatan tidak menyenangkan” (Pasal perbuatan tidak menyenangkan) Inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal Perbuatan tidak menyenangkan ini diajukan Judicial Review karena dianggap tidak jelas, subjektif, dan rentan disalahgunakan oleh oknum aparat penegak hukum.
Adapun pertimbangan hukum MK dalam putusan tersebut, intinya adalah karena frasa perbuatan tidak menyenangkan tidak bisa diukur secara objektif (dengan kata lain sangat subjektif), dan telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena memberikan peluang terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum dalam implementasinya terutama bagi pihak yang dilaporkan, sehingga justru bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam proses penegakan hukum [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].
Secara substansi, menurut Saya Pasal 29 UU ITE khususnya frasa “menakut-nakuti” ini mirip dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan di atas, karena tidak bisa diukur secara objektif (tidak ada kepastian hukum) dan memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan, sehingga telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 atau Inkonstitusional.
Oleh karenanya, menurut saya Pasal 29 UUITE perlu di Judicial Review ke Mahkamah Konsitusi, harapannya agar MK menyatakan Pasal 29 UU ITE ini inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebab Pasal 29 inilah akar permasalahannya.
NOTE: Ini adalah murni pendapat hukum saya dan semata-mata demi kepentingan hukum, tidak ada urusan dengan politik ataupun lainnya. Terima kasih semoga bermanfaat.
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/
Tp bagaimana bisa inkonstitusional bilamana pasal tsb masih valid dan blm dibatalkan MK smp saat ini?
Makanya harus dijudicial review ke MK.
Nice.. (Y)
Thanks bro informasinya sangat bermanfaat. Jadi tau masalah pengancaman dan pemerasan ternyata beda perlakuan di mata hukum.
Semoga bermanfaat brook
saya mau tanya pak, teman saya meminjam uang sebesar 3,5jt kepada saya tidak ada bukti tertulis/jaminan, tapi ketika di tagih melalui sms dia mengatakan sehabis lebaran, bukti smsnya masih saya simpan sampai sekarang, dan sekarang pun tiap hari saya telpon tidak pernah di angkat saksi ada 2 orang yang mendengarkan dan melihat transaksi saya kepada teman saya, apakah saya bisa bawa ke jalur hukum? dan apa uang saya bisa balik? makasih
bisa di bawa ke jalur hukum, laporkan ke polisi atas dasar penggelapan Pasal 372 KUHP. karena tidak ada itikad baik dari dia untuk mengembalikan uang.
setelah itu kalau mau uang balik anda bisa menggugat secara perdata. sebab hukum pidana tujuannya bukan untuk mengembalikan uang, tapi hanya untuk memberi efek jera kepada pelaku. tapi kalau mau uang balik anda bisa menggugat secara perdata ke pengadilan.
Terima kasih