Keabsahan Perjanjian Elektronik dalam Transaksi Elektronik
Perjanjian yang dibuat secara elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perjanjian yang dibuat secara langsung. Pada prinsipnya, perjanjian dianggap sah menurut hukum apabila memenuhi syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai berikut:
- Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu hal tertentu; dan
- Suatu sebab yang halal.
Perjanjian elektronik juga telah diakui dalam Pasal 8 ayat (1) United Convention on the Use of Communication in International Contracts bahwa perjanjian elektronik merupakan perjanjian yang mengikat dan sah menurut hukum. Di Indonesia, perjanjian elektronik diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bahwa transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. Perjanjian elektronik diatur secara lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang paling sedikit memuat:
a. Data identitas para pihak;
b. Objek dan spesifikasi;
c. Persyaratan transaksi elektronik;
d. Harga dan biaya;
e. Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
f. Ketentuan yang memberikan hak hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/ atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
g. Pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
Dengan demikian, baik perjanjian elektronik maupun perjanjian yang ditandatangani secara langsung memiliki kekuatan hukum yang sama.
Artikel hukum ini ditulis oleh Salsa Juanita – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).