Apakah Pewaris Dapat Mewasiatkan Seluruh Harta Kepada Selingkuhannya?
Warisan adalah suatu hal yang selalu diperdebatkan setiap adanya kematian seseorang pewaris. Hukum waris yang berlaku bagi masyarakat non-muslim baik WNI, Tionghoa ataupun masyarakat eropa di Indonesia adalah hukum waris perdata yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Istilah wasiat sendiri dikenal dalam KUHPerdata dengan nama testament. Berdasarkan Pasal 875 KUHPerdata menjelaskan bahwa surat wasiat atau testament adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal, yang mana akta ini dapat dicabut kembali olehnya.
Pasal 875 KUHPerdata berbunyi:
“Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.”
Dalam hal ini, pewaris memiliki kewajiban untuk menggunakan haknya dalam menulis wasiat dengan memperhatikan ketentuan legitime portie.
Legitime Portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan pewaris yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata.
Pasal 913 KUHPerdata berbunyi:
“Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat.”
Dapat dikatakan, legitime portie adalah perlindungan hak ahli waris dan pembatasan atas hak waris dalam membuat wasiat. Orang yang berhak untuk menjadi ahli waris mutlak atau berhak atas suatu legitime portie disebut legitimaris.
Pasal 832 KUHPerdata berbunyi:
“Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.
Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.”
Dapat dikatakan bahwa Pasal 832 KUHPerdata mengatur bahwa orang yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama.
Pasal 914 KUHPerdata berbunyi:
“Bila pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah dalam garis ke bawah, maka legitieme portie itu terdiri dari seperdua dari harta peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian.
Bila yang meninggal meninggalkan dua orang anak, maka legitieme portie untuk tiap-tiap anak adalah dua pertiga bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.
Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu tiga perempat bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.
Dengan sebutan anak-anak dimaksudkan juga keturunan-keturunan mereka dalam derajat seberapa pun tetapi mereka ini hanya dihitung sebagai pengganti anak yang mereka wakili dalam mewarisi warisan pewaris.”
Berdasarkan Pasal 914 KUHPerdata, apabila ahli waris terdiri dari seorang anak sah maka legitime portie adalah ½ dari bagian warisan yang seharusnya ia peroleh. Selanjutnya, apabila terdapat dua orang anak sah maka legitime portie adalah ⅔ dari bagian warisan yang seharusnya ia peroleh, sedangkan apabila terdapat tiga orang anak sah maka mereka miliki legitime portie sebesar ¾ dari bagian warisan. Dengan kata lain, bagian warisan yang dapat diwasiatkan kepada pihak lain selain legitimaris adalah sisa dari hak legitime portie yang dimiliki oleh legitimaris.
Contohnya, Keluarga bapak X yang terdiri dari seorang anak dan sang istri adalah keluarga kristen yang sangat taat. Pada tanggal 20 Mei 1997, bapak X meninggal karena mengalami serangan jantung. Seusai pemakaman bapak X, notarisnya menghampiri anak dan istrinya serta menyampaikan wasiat bapak X yang menyatakan bahwa harta warisannya akan diberikan seluruhnya kepada seorang wanita, yang diketahui adalah selingkuhan bapak X. Hubungan mereka telah terjalin sejak 10 tahun lalu, yang mana dalam hubungan ini tidak terikat pada ikatan pernikahan.
Pada kasus ini, kita dapat melihat bahwa wasiat bapak X telah menyalahi hak legitime portie anaknya. Seharusnya, sebagai legitimaris anaknya berhak memiliki ⅓ karena berdasarkan ketentuan Pasal 914 KUHPerdata telah mengatur apabila pewaris memiliki seorang anak sah maka anak tersebut berhak atas ⅓ bagian dari harta peninggalan pewaris. Dapat disimpulkan berdasarkan ketentuan tersebut, bagian yang dapat diwariskan hanya ⅔ bagian dari harta warisan yang ditinggalkan.
Selanjutnya, apabila dalam suatu surat wasiat seorang pewaris menggunakan haknya dan membuat warisan tanpa memperhatikan legitime portie, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi Inkorting atau pengurangan bagian warisan dari bagian harta peninggalan yang mutlak diterima oleh pewaris. Seorang legitimaris dapat menuntut pembatalan pada surat wasiat yang melanggar haknya dan berhak untuk meminta peniadaan inkorting dalam bagian warisnya (Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, 2008).
Dapat disimpulkan bahwa pewaris tidak dapat menyerahkan seluruh hartanya melalui testament kepada pihak manapun di luar pemegang hak legitime portie, apabila tindakan tersebut melanggar hak legitimaris atas bagian warisan yang secara mutlak miliknya.
Sumber:
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.__
Artikel hukum ini ditulis oleh Rosalinda Estevani Kardinal – Intern DNT Lawyers.
terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).