Masyarakat sipil yang mengangkat senjata dan turut menyerang pihak lawan saat perang dapat kehilangan status perlindungannya.
Perang merupakan konflik bersenjata, baik yang terjadi antarnegara, antara negara dan kelompok bersenjata, maupun antarkelompok bersenjata. Pengertian ini sekaligus merujuk kepada taraf perang yang dapat terjadi, baik secara internasional maupun non-internasional. Oleh karena sifat perlawanan yang timbul saat perang, peperangan dapat digolongkan sebagai suatu permusuhan.
Berdasarkan hukum humaniter internasional, layaknya Statuta Roma dan Konvensi Jenewa ‘49 beserta Protokol Tambahannya, masyarakat sipil dilindungi selama konflik bersenjata, kecuali jika mereka terlibat langsung dalam permusuhan atau peperangan. Pasal 51 ayat (3) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa ‘49 menyatakan bahwa “perlindungan bagi sipil hilang selama mereka berpartisipasi langsung dalam permusuhan atau peperangan.”
Ketentuan ini berlaku untuk konflik bersenjata internasional dan non-internasional sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional. Aturan 6 dari Kompilasi Hukum Kebiasaan Humaniter Internasional oleh International Committee of the Red Cross (ICRC) menyatakan bahwa “sipil yang berpartisipasi langsung dalam permusuhan kehilangan perlindungan dari serangan.“
Namun, belum ada standar pasti mengenai kriteria partisipasi langsung dalam permusuhan atau peperangan. Contoh penting dari hal ini dapat dilihat dalam kasus Bosco Ntaganda-pemimpin serangan terhadap warga sipil-yang terlibat dalam konflik bersenjata di Ituri, Republik Demokratik Kongo. Dalam putusannya, Kamar Banding (Appeals Chamber) Mahkamah Pidana Internasional mengakui Pedoman Interpretatif ICRC sebagai sarana interpretasi, sekalipun tidak mengikat secara hukum.
Pada pokoknya, pedoman tersebut menyusun tiga kriteria untuk menentukan partisipasi langsung dalam permusuhan atau peperangan:
- Tindakan tersebut berdampak buruk terhadap operasi militer atau kapasitas salah satu pihak;
- Terdapat hubungan sebab-akibat langsung antara tindakan dan kerugian yang timbul;
- Tindakan tersebut dirancang khusus untuk mendukung salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya.
Dengan demikian, sipil yang mengangkat senjata untuk melawan pihak lawan dapat dianggap berpartisipasi langsung dalam permusuhan/peperangan dan kehilangan status perlindungannya.
Referensi
Perjanjian (Hukum) Internasional
Rome Statute of the International Criminal Court
Geneva Convention (IV) Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War of 12 August 1949
Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), of 8 June 1977
Putusan Mahkamah Pidana Internasional
International Criminal Court, Prosecutor v. Ntaganda, Appeals Chamber, 21-02-2017.
Buku & Artikel
Assembly of the ICRC. 2009. “Interpretive Guidance on the Notion of Direct Participation in Hostilities under International Humanitarian Law.” International Review of the Red Cross, vol. 90, no. 872.
Jean-Marie Henckaerts & Louise Doswald-Beck. 2009. Customary International Humanitarian Law Volume I: Rules (New York: Cambridge University Press).Perbuatan eksploitasi dengan iming iming pekerjaan layak di Luar Negeri dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang berbunyi:
Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enak ratus juta rupiah).
Berdasarkan berita yang diterbitkan kompas.com pada tanggal 23 Maret 2024 dengan judul “Kronologi Dugaan Perdagangan Orang di Jerman, Magang Berkedok Kampus Merdeka”, laman tersebut memberitahukan informasi terkait dugaan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan mahasiswa melalui program magang Ferienjob di Jerman oleh PT SHB yang telah menjalin kerja sama dengan puluhan kampus. Bentuk kerja sama tersebut memuat pernyataan bahwa Ferienjob masuk ke program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Dengan demikian, tindakan eksploitasi dengan iming iming pekerjaan layak di Luar Negeri dilakukan dengan cara non-prosedural sehingga pelaku eksploitasi dapat dikenakan ancaman penjara paling lama 15 tahun penjara dan denda 600 juta sesuai dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Artikel hukum ini ditulis oleh Mariano Marhaen Endo Moansadok – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).