Baru-baru ini, otoritas keimigrasian Indonesia mendeportasi sebanyak 26 Anak Buah Kapal (ABK) asal Filipina yang terbukti memasuki wilayah perairan Indonesia secara ilegal. Masuknya ABK berkewarganegaraan asing secara ilegal ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang keimigrasian. Dalam konteks hukum nasional, tanggung jawab hukum atas peristiwa tersebut tidak serta merta dibebankan hanya kepada ABK sebagai subjek pelaku, melainkan juga dapat melibatkan pihak-pihak lain yang berperan dalam proses perekrutan, pengangkutan, dan pemberangkatan mereka ke wilayah Indonesia.
Pertama, ABK asing yang masuk tanpa dokumen sah atau tidak melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) dapat dikenai sanksi administratif keimigrasian berdasarkan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pejabat Imigrasi berwenang menjatuhkan tindakan seperti deportasi dan pencantuman dalam daftar penangkalan. Namun, tindakan ini tetap harus memperhatikan asas non-refoulement serta kewajiban untuk mengidentifikasi apakah ABK merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kedua, nakhoda kapal yang membawa ABK asing tanpa melalui TPI dapat dikenai pidana berdasarkan Pasal 120 Undang-Undang Keimigrasian, dengan ancaman penjara maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda hingga Rp1.500.000.000 (satu setengah miliar rupiah). Sebagai penanggung jawab tertinggi operasional kapal, nakhoda dapat dimintai pertanggungjawaban atas keberadaan seluruh kru di dalamnya.
Ketiga, pemilik atau pengelola kapal seperti perusahaan perikanan asing juga dapat dikenai sanksi pidana apabila terbukti memberikan kesempatan kepada orang asing untuk masuk atau tinggal di Indonesia tanpa izin yang sah. Hal ini diatur dalam Pasal 122 huruf b Undang-Undang Keimigrasian, dengan ancaman pidana hingga (5) lima tahun dan atau denda sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Jika perusahaan mempekerjakan ABK tanpa izin kerja, hal ini juga dapat melanggar ketentuan ketenagakerjaan lintas negara.
Keempat, agen tenaga kerja atau perusahaan outsourcing yang merekrut dan mengirim ABK secara ilegal juga dapat dimintai pertanggungjawaban. Jika ditemukan unsur eksploitasi, penipuan, atau penyalahgunaan situasi rentan, maka perbuatannya dapat dikualifikasikan sebagai TPPO berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, khususnya Pasal 2 dan Pasal 4.
Dengan demikian, tanggung jawab atas masuknya ABK asing secara ilegal ke wilayah Indonesia tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga mencakup nakhoda kapal, pemilik atau pengelola kapal, serta agen perekrut. Penegakan hukum terhadap kasus seperti ini tidak hanya menyangkut aspek kedaulatan negara, tetapi juga perlindungan terhadap hak asasi manusia, terutama apabila para ABK merupakan korban perdagangan orang.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:
Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Artikel hukum ini ditulis oleh Jennifer Angela Kezia – Intern DNT Lawyers.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
- CNN Indonesia, “Masuk Secara Ilegal, 26 ABK Asal Filipina Dideportasi dari Papua,” 14 Juni 2025, diakses 17 Juni 2025, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250614204738-12-1239829/masuk-secara-ilegal-26-abk-asal-filipina-dideportasi-dari-papua.