Relevansi BANI Dalam Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Dipertanyakan: Perlukah Pembaharuan?

Arbitrase dikenal sebagai metode penyelesaian sengketa yang efisien, cepat, dan bersifat rahasia. Namun, efektivitas forum arbitrase nasional seperti BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) masih dipertanyakan. Banyak pihak lebih memilih lembaga asing seperti SIAC (Singapore International Arbitration Center), karena dianggap lebih terpercaya, efisien, dan memiliki reputasi internasional yang lebih kuat.

UU No. 30 Tahun 1999 menjadi dasar hukum arbitrase di Indonesia. Namun, setelah lebih dari dua dekade, banyak ketentuannya dinilai tidak lagi relevan dengan praktik arbitrase modern. Beberapa kelemahan utama meliputi:

  • Definisi arbitrase dan arbiter yang terlalu sempit dan tidak mencakup sistem digital dan hybrid arbitration.
  • Keabsahan perjanjian arbitrase yang masih mensyaratkan bentuk tertulis, belum mengakomodasi kontrak elektronik atau e-signature.
  • Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) seperti mediasi dan konsiliasi diatur terlalu ringkas tanpa kerangka kerja jelas.
  • Belum mengatur praktik Online Dispute Resolution (ODR) dan mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS).

Meskipun putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, proses eksekusi masih harus melalui pengadilan negeri, termasuk untuk putusan arbitrase asing (exequatur). Ini membuka ruang intervensi, memperbesar risiko pembatalan, dan mengurangi kepastian hukum. Hal ini membuat investor asing meragukan netralitas dan enforceability putusan arbitrase di Indonesia.

Di luar aspek regulasi, keterbatasan jumlah arbiter profesional, khususnya di bidang industri dan teknologi, turut menjadi hambatan. Sementara itu, pelaku usaha kecil-menengah masih mengandalkan pengadilan karena minimnya pemahaman akan mekanisme arbitrase.

Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan langkah strategis yaitu revisi secara menyeluruh Undang-Undang Arbitrase agar selaras dengan praktik internasional, peningkatan kapasitas lembaga arbitrase nasional, serta edukasi publik dan pelaku usaha tentang keunggulan arbitrase. Tanpa reformasi sistemik, arbitrase nasional akan terus kehilangan efektivitas dan legitimasi sebagai forum penyelesaian sengketa yang unggul.

Regulasi arbitrase perlu diperbarui agar selaras dengan UNCITRAL Model Law, terutama dalam hal digitalisasi, kualifikasi arbiter, dan prosedur pembatalan. Hal tersebut juga bertujuan untuk menyelaraskan sistem arbitrase nasional dengan praktik global dan digitalisasi, menjamin finalitas putusan, serta meningkatkan kepercayaan investor domestik dan internasional.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Yanda Wijaya Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
  • UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration (amended 2006).
  • Damos Dumoli Agusman, Hukum Arbitrase Internasional: Dalam Teori dan Praktik (Bandung: Refika Aditama, 2021), hlm. 178–179.
  • Fitri Wulandari, “Kisruh Dualisme BANI,” Hukumonline.com, 5 September 2016.
  • Sri Lestari Wahyuningroem, “Trust and the Courts in Indonesia,” Asian Journal of Comparative Law, vol. 14, no. 1 (2019): 45–70.
  • Hukum Online, Hukum online Luncurkan Hasil Survei Kebutuhan Lembaga Arbitrase di Indonesia.
Related Posts
WhatsApp chat