Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase telah sering digunakan oleh kalangan pebisnis, baik pada skala nasional ataupun internasional. Terbukti bahwa terjadi peningkatan angka kasus setiap tahunnya yang diselesaikan melalui arbitrase. Beberapa waktu yang lalu, pada tanggal 3 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No.100/PUU-XXII/2024 yang pada intinya telah menghapus kata “dianggap” dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). Adapun isi dari Pasal 1 angka 9 UU 30/1999 pasca Putusan MK No.100/PUU-XXII/2024 sekarang secara lengkap berbunyi:
Pasal 1 angka (9) UU 30/1999
“Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia sebagai suatu putusan arbitrase internasional.”
Hal ini karena isi dari pasal tersebut sebelumnya dinilai multitafsir sehingga menimbulkan masalah ketidakpastian hukum karena mengandung kata “dianggap.” Secara gramatikal berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”), kata “dianggap” berasal dari kata “anggap” yang berarti memandang sebagai atau berpendapat bahwa, serta memiliki padanan kata seperti “sangka,” “taksir,” “tebak,” “duga,” dan lainnya. Oleh karena itu, kata-kata tersebut memiliki arti sesuatu yang belum jelas atau masih dapat berubah tergantung fakta yang melatarbelakanginya.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) juga pernah menyerahkan Naskah Akademis tentang perubahan atas UU 30/1999 kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Menkumham RI pada tahun 2023, yang salah satu ketentuan yang diusulkan adalah mengganti Pasal 1 angka (9) UU 30/1999 dengan rumusan arbitrase internasional berdasarkan Article 1 (3) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration, yang berbunyi:
(a) “The parties to an arbitration agreement have, at the time of conclusion of that agreement, their places of business in different states; or
(b) One of the following places is situated outside the State in which the parties have their places of business:
i. The pace of arbitration if determined in, or pursuant to, the arbitration agreement;
j. Any pace where a substantial part of the obligations of the commercial relationship is to be performed or the place with which the subject-matter of the dispute is most closely connected; or
(c) The parties have expressly agreed that the subject matter of the arbitration agreement relates to more than one country.”
Namun secara historis, Pasal 1 angka 9 UU 30/1999 sejatinya diadopsi dari Article 1 (1) 1958 United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of Arbitral Awards (“NY Convention 1958”) yang pada intinya menjelaskan ruang lingkup keberlakuan suatu putusan arbitrase internasional untuk mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Menurut Article 1 (1) NY Convention 1958, bahwa “arbitral awards made in the territory of a state other than the state where the recognition and enforcement of such awards are sought.” Definisi awal yang diberikan oleh Pasal 1 angka 9 UU 30/1999 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai apa parameter atau batasan mengenai putusan arbitrase non-domestik tersebut dalam UU 30/1999.
Ketidakpastian hukum tersebut jelas terlihat apabila kita membandingkan antara pertimbangan hakim mengenai penggolongan putusan arbitrase internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 219 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 antara PT Indiratex Spindo melawan Everseason Enterprises Ltd; dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 904 K/Pdt.Sus/2009 antara PT Pertamina, PT Pertamina EP melawan PT Lirik Petroleum. Selain itu, dalam permohonan pemohon pada Putusan MK No.100/PUU-XXII/2024, mendalilkan bahwa majelis arbitrase di Singapore International Arbitration Center (SIAC) pernah mengalami kebingungan dalam memaknai suatu putusan arbitrase di Indonesia, yakni dalam menggolongkan suatu putusan arbitrase sebagai suatu putusan nasional atau putusan internasional bila merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 9 UU 30/1999.
Maka dari itu, MK mengabulkan permohonan yang bersangkutan dengan meniadakan kata “dianggap” pada pengertian Putusan Arbitrase Internasional dalam Pasal 1 angka 9 UU 30/1999. Dengan dihapusnya kata “dianggap” dalam isi pasal tersebut, maka keberadaan frasa “atau yang menurut ketentuan umum Republik Indonesia sebagai suatu putusan arbitrase internasional” tentu membuat definisi dan ruang lingkup dari putusan arbitrase di Indonesia menjadi lebih jelas, yang mana putusan arbitrase nantinya didasarkan pada konsep teritorial dan faktor lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai penutup, diharapkan agar Putusan MK No.100/PUU-XXII/2024 ini bisa memberi kepastian hukum yang adil bagi para pihak yang bersengketa di arbitrase khususnya pada lingkup internasional yang melibatkan unsur asing. Putusan MK ini juga diharapkan bisa menjadi poin penting alasan mengapa pemerintah Indonesia harus segara melakukan amandemen terhadap UU 30/1999, serta perlu dilakukan suatu harmonisasi hukum arbitrase nasional dengan hukum internasional dengan mengakomodir best practices dunia internasional seperti salah satunya Singapore.
Referensi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XXII/2024 tanggal 3 Januari 2025.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “MK Kuatkan Konsep Teritorial dalam Putusan Arbitrase Internasional”,
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=22016, diakses pada tanggal 7 Januari 2025.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Dua Permasalahan Utama Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia”,
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21795, diakses pada tanggal 8 Januari 2025.
Togi Pangaribuan, “Putusan Arbitrase Internasional Pasca Putusan MK No. 100/PUU-XXII/2024”,
https://www.hukumonline.com/berita/a/putusan-arbitrase-internasional-pasca-putusan-mk-no-100-puu-xxii-2024-lt677eb5a107429/, diakses pada tanggal 10 Januari 2025.
Artikel hukum ini ditulis oleh Patrick Martin – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).