Perkara Pertanahan: Sebaiknya Gugat Perdata atau PTUN?
Perkara pertanahan merupakan salah satu jenis pekara yang paling sering disidangkan pengadilan, baik di lingkungan peradilan umum, maupun peradilan tata usaha negara (PTUN). Pada banyak kasus, upaya hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berperkara dilakukan secara membabi buta, yakni melakukan gugatan perdata dan PTUN pada waktu yang sama.
Sebenarnya, sah-sah saja melakukan berbagai upaya hukum, namun perlu diketahui bahwa ada batasan pembeda kewenangan masing-masing badan peradilan, jika salah mengajukan gugatan pada badan peradilan yang tidak berwenang, maka gugatan mengandung cacat formil karena melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute dan putusan yang dijatuhkan adalah gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO).
Lantas perkara seperti apa yang harus gugat perdata atau PTUN?
Secara singkat, Mahkamah Agung melalui Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial melalui surat No. 6/WK.MA.Y/II/2020, tertanggal 10 Februari 2020, perihal Permasalahan Pertanahan yang menjadi objek sengketa di Lembaga Peradilan, telah memberikan penjelasan terkait batasan jelas antara kedua kompetensi absolut badan peradilan umum dan PTUN tersebut terkait kewenangan mengadili perkara pertanahan.
Jika perkara pertanahan tersebut terkait masalah kepemilikan hak atas tanah, atau masalah hak yang melekat pada kepemilikan tanah, maka yang berwenang mengadili adalah peradilan umum Perdata berdasarkan KUH Perdata. Misalnya pada kasus-kasus seperti adanya perkara pertanahan antara saudara sekandung menyangkut hibah, atau penyerobotan tanah dan sebagainya. Maka terhadap hal tersebut bisa diajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) pada wilayah pengadilan negeri setempat.
Namun, jika perkara pertanahan tersebut menyangkut kewenangan, prosedur, dan substansi dalam penerbitan hak atas tanah atau sertifikat tanah maka yang berwenang memeriksa dan mengadili adalah Badan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dan perubahannya. Misalnya, secara tiba-tiba Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan sertifikat atas nama orang lain tanpa melalui prosedur dan substansi yang seharusnya, seperti misalnya tidak ada Akta Jual Beli, tidak ada surat pernyataan tidak sengketa dari, tidak ada surat keterangan Riwayat tanah, tidak ada pengukuran ke lokasi dan tidak ada pengesahan surat ukur. Maka untuk perkara-perkara seperti itu, pemohon bisa menggugat BPN ke PTUN.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka pihak-pihak yang bersengketa harus tahu betul fakta yang sebenarnya, apakah menyangkut sengketa hak milik yang bisa diajukan ke peradilan umum, atau sengketa kewenangan, prosedur dan substansi penerbitan hak atas tanah yang dapat diajukan ke PTUN. Hal tersebut mutlak dilakukan untuk mencegah gugatan NO.
Namun demikian, perlu diketahui pada beberapa perkara, terdapat fakta yang nyata bahwa selain adanya sengketa kepemilikan, juga adanya masalah pada prosedur, dan substansi dalam penerbitan hak atas tanah, maka terhadap perkara demikian bisa diajukan gugatan ke PTUN dan Perdata ke Pengadilan Negeri.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 6329-683 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).