Artificial Intelligence (AI) merupakan suatu pengembangan teknologi yang dapat membantu manusia untuk menyelesaikan pekerjaannya seperti merangkum suatu dokumen yang panjang menjadi lebih ringkas dan padat, mencari jawaban atau solusi dari suatu permasalahan, sampai membantu membuat video atau musik tanpa harus melakukan proses editing yang panjang. Di Indonesia sendiri penggunaan AI semakin marak hingga menimbulkan kekhawatiran dikarenakan tidak hanya menghasilkan dampak positif, tetapi dapat menimbulkan dampak negatif.1
Penggunaan AI kemudian juga masuk ke dalam sektor hukum. Sudah banyak AI yang dapat membantu pekerjaan di dunia hukum, salah satunya ialah profesi Advokat. Kendati dapat membantu pekerjaan para Advokat, penggunaan AI masih memiliki sejumlah tantangan dan keterbatasan. Indonesia sendiri masih belum memiliki regulasi yang jelas dalam penggunaan AI. Saat ini pengaturan terkait dengan AI hanya terdapat dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial yang mengatur nilai etika dalam penyelenggaraan teknologi AI yakni nilai Inklusivitas, Kemanusiaan, Keamanan, Aksesibilitas, Transparansi, Kredibilitas dan Akuntabilitas, Pelindungan Data Pribadi, Pembangunan dan Lingkungan Berkelanjutan, serta Kekayaan Intelektual.2
Salah satu contoh dari penyalahgunaan penggunaan AI di kalangan profesi Advokat yakni penggunaan Legal Brief dari AI bernama ChatGPT oleh 2 (dua) pengacara asal Amerika Serikat yakni Peter LoDuca dan Steven A. Schwartz untuk beracara di pengadilan. Hasil pekerjaan Legal Brief tersebut ternyata berdasar kepada putusan yang tidak ada sehingga mengakibatkan kedua pengacara asal Amerika Serikat tersebut dikenai denda sebesar 5.000 USD dan keharusan untuk melaporkan kepada hakim atas kesalahan mereka tersebut.3
Dalam penggunaan AI di Indonesia sendiri tetap harus memperhatikan batasan-batasan yang diatur. Berdasarkan SE Kemenkominfo Nomor 9 Tahun 2023 bahwa salah satu tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pengguna AI adalah memastikan agar penggunaan AI tidak dijadikan sebagai penentu kebijakan dan/atau sebagai pengambilan keputusan yang menyangkut kemanusiaan. Berdasarkan hal ini, dalam profesi Advokat yang cukup erat kaitannya dengan kemanusiaan, para Advokat tetap harus memperhatikan kebijakan-kebijakan yang saat ini berlaku dan tentunya menggunakan AI sebagai alat untuk menunjang pekerjaannya, bukan sebagai tiang penentu keputusan akan langkah-langkah hukum yang akan ditempuh.
Referensi
[1] Lintasarta Cloudeka, “Bagaimana Perkembangan Artificial Intelligence di Indonesia?,” https://www.cloudeka.id/id/berita/teknologi/artificial-intelligence-di-indonesia/#:~:text=Contoh%20penerapan%20AI%20di%20Indonesia,dan%20gambar%20untuk%20meningkatkan%20keamanan, Diakses pada Jumat, 1 November 2024 Pukul 14.30 WIB.
2 Fachry Hasani Habib, “Menakar Prospek Pengaturan Artificial Intelligence di Indonesia,” https://www.hukumonline.com/berita/a/menakar-prospek-pengaturan-artificial-intelligence-di-indonesia-lt6613c94285e9b/, Diakses pada Jumat, 1 November 2024 Pukul 14.00 WIB.
3 Tommy K. Rony, “Pengacara AS Pakai ChatGPT Saat Periksa Kasus, Hasilnya Sesat dan Berujung Diadili,” https://www.liputan6.com/global/read/5301313/pengacara-as-pakai-chatgpt-saat-periksa-kasus-hasilnya-sesat-dan-berujung-diadili?page=2, Diakses pada Jumat, 1 November 2024 Pukul 15.18 WIB.
Artikel hukum ini ditulis oleh Joyce Yedija – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).