Penyadapan Nomor Telepon oleh Kejaksaan Melalui MoU: Melanggar Hak Privasi?

Nota Kesepahaman (MoU) antara Kejaksaan RI dan operator telekomunikasi terkait fasilitas akses penyadapan menimbulkan berbagai pertanyaan hukum, etika, dan konstitusionalitas, mengingat penyadapan merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas privasi dan komunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G dan Pasal 28J UUD 1945.

Pada status quo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur secara eksplisit mengenai penyadapan. Namun, pada praktiknya, penyadapan dikategorikan sebagai bentuk “upaya paksa,” sehingga harus dilakukan oleh lembaga yang sah, berdasarkan perintah undang-undang, dan mendapatkan izin dari Pengadilan jika menyentuh privasi atau hak dasar seseorang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 30C huruf i Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, pembentuk undang-undang telah mengamanatkan bahwa Kejaksaan dalam melakukan penyadapan harus berdasarkan undang-undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan.  Selain itu, UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, UU No. 36 Tahun 1999 Telekomunikasi, dan UU ITE juga menegaskan mengenai perlindungan data dan privasi pengguna, serta membatasi akses kecuali berdasarkan perintah UU atau perintah Pengadilan.

Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010 menegaskan bahwa penyadapan tanpa dasar undang-undang adalah inkonstitusional, karena melanggar hak atas privasi. Penyadapan hanya sah jika dilakukan oleh lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang, dengan izin pengadilan, dan diatur melalui undang-undang, bukan sekadar peraturan pelaksana.

Selain putusan tersebut, MK dalam berbagai putusan seperti Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016, Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015, Putusan MK Nomor 70/PUU‑XVII/2019 Putusan MK Nomor 70/PUU‑XVII/2019 MK telah berulang kali menegaskan pentingnya prinsip due process of law dan penghormatan terhadap hak asasi manusia pada kewenangan penyadapan oleh lembaga berwenang.

Penyadapan merupakan bentuk intersepsi terhadap komunikasi pribadi. Tanpa UU yang tegas dan mekanisme pengawasan, maka pelaksanaannya berpotensi melanggar HAM dan prinsip rule of law. MoU ini juga berpotensi melanggar Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Yanda Wijaya Intern DNT Lawyers.

 

 

Related Posts
WhatsApp chat