Pengaturan Royalti Musik di Indonesia: Analisis Kekosongan Hukum dan Urgensi Penataan Regulasi

Hak royalti pencipta lagu dan pemegang hak terkait diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Pasal 9 ayat (1) huruf d – f memberikan hak eksklusif kepada pencipta untuk memperoleh royalti atas penggunaan karya, sedangkan Pasal 87 – 89 mengamanatkan pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.1

Meskipun demikian, UU Hak Cipta tidak secara tegas mengatur keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang kemudian dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. LMKN memperoleh kewenangan sentral dalam penarikan royalti secara nasional, yang memunculkan potensi tumpang tindih kewenangan dengan LMK, terutama dalam penarikan, perhitungan, dan distribusi royalti. Kondisi ini menimbulkan perdebatan yuridis, termasuk dugaan bahwa LMKN bertindak ultra vires sehingga memicu pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.2

Secara asas hukum, pembentukan LMKN melalui peraturan pemerintah dipandang bermasalah karena berpotensi melanggar Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yang melarang peraturan di bawah undang-undang mengatur hal baru yang tidak diatur dalam undang-undang.3 Asas kepastian hukum, Pasal 28D UUD 1945 pun terancam akibat dualisme kewenangan LMK–LMKN, sementara mekanisme distribusi royalti yang kurang partisipatif berpotensi melanggar prinsip keadilan distributif.4

Ari Lasso, seorang musisi ternama, menyampaikan kekecewaan sekaligus kritik terhadap Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Wahana Musik Indonesia (WAMI) melalui unggahan pada Senin, 11 Agustus 2025. Dalam unggahan tersebut, Ari membagikan surat dari WAMI bertanggal 28 Juli 2025 dan mengungkap kebingungannya atas nominal royalti yang diterimanya, yang hanya sekitar tujuh ratus ribu rupiah dari total puluhan juta rupiah yang seharusnya diterima. Ari menilai kekeliruan terbesar adalah pengiriman dana ke rekening atas nama pihak lain, yakni “Mutholah Rizal.”5

Dengan demikian, kekosongan hukum terkait LMKN dalam UU Hak Cipta menimbulkan ketidakpastian dan potensi konflik kelembagaan. Reformasi regulasi menjadi penting guna memastikan pengelolaan royalti musik di Indonesia berjalan transparan, adil, dan memberikan kepastian hukum bagi pencipta, pelaku, serta pengguna karya musik.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Arya Sulistiawan Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Timoty Ezra Simanjuntak, Hukumonline, 1 Juli 2025
  • Sri Pujianti, Mahkamah Konstitusi, 24 April 2025
  • Erizka Permatasari, Hukumonline, 11 Februari 2022
  • Sri Pujianti, Mahkamah Konstitusi, 07 Mei 2025
  • CNN Indonesia, 12 Agustus 2025
Related Posts
WhatsApp chat