Anak merupakan kelompok di dalam masyarakat yang rentan menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat kekerasan seksual menempati posisi pertama dalam 7.842 kasus kekerasan terhadap anak dalam rentang bulan Januari hingga Juni 2024. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terbatas pada orang dewasa, tetapi anak di bawah umur juga dapat melakukan kekerasan seksual terhadap sesama anak. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah Child on Child Sexual Abuse (COCSA) yang memiliki definisi “Abuse by one child of another child – regardless of the age, stage of development, or any age differential between them.” Contoh kasus COCSA dapat ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Andolo No.x/Pid.Sus-Anak/2020/PN Adl. yang memuat perkara persetubuhan oleh anak laki-laki berusia 13 (tiga belas) tahun terhadap seorang anak perempuan berusia 8 (delapan) tahun pada tahun 2021 di Kabupaten Konawe Selatan.
Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana Child on Child Sexual Abuse (COCSA). Secara umum, ketentuan mengenai kekerasan seksual terhadap anak terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak perubahan tahun 2014), dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 (UU Pornografi). Pengaturan kekerasan seksual terhadap anak di dalam UU Perlindungan Anak perubahan tahun 2014 terdapat di dalam Pasal 76D (Pemerkosaan), Pasal 76E (Pencabulan), dan Pasal 76I (Eksploitasi Seksual). Anak yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak dapat dijerat menggunakan ketentuan yang diatur dalam berbagai peraturan kekerasan seksual terhadap anak. Namun, terdapat proses peradilan pidana yang berbeda antara pelaku anak dengan pelaku orang dewasa.
Anak pelaku Child-On-Child Sexual Abuse (COCSA) merupakan Anak yang Berkonflik dengan Hukum sehingga harus diproses berdasarkan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Artinya proses peradilan terhadap pelaku COCSA berbeda dengan orang dewasa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak, meskipun pasal yang digunakan sama seperti pelaku dewasa kekerasan seksual terhadap anak. Perbedaan proses peradilan tersebut dapat dilihat dalam aspek adanya pengupayaan diversi serta sanksi pidana dan tindakan bagi pelaku COCSA. Pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (diversi) hanya dapat dilakukan apabila ancaman pidana dalam delik kekerasan seksual di bawah 7 (tujuh) tahun. Selain itu, pelaku COCSA yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan, seperti perawatan di LPKS, pengembalian kepada orang tua/wali, dan sebagainya. Pengenaan sanksi pidana penjara bagi pelaku COCSA yang sudah berusia 14 tahun atau lebih juga paling lama hanya ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Contohnya anak pelaku pemerkosaan terhadap anak hanya dapat diancam pidana penjara paling lama 7 tahun 6 bulan yang merupakan ½ dari maksimum pidana penjara pelaku orang dewasa sebagaimana diatur dalam Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan Anak perubahan tahun 2014.
Berdasarkan analisis di atas dapat dipahami Child-On-Child Sexual Abuse (COCSA) di Indonesia diatur secara umum dalam ketentuan kekerasan seksual terhadap anak. Namun begitu, proses peradilan terhadap anak pelaku COCSA harus dijalankan sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh karena itu, penanganan perkara COCSA harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian sehingga hak-hak anak tidak terlanggar.
Referensi
Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. UU Nomor 35 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 297 TLN No. 5606.
Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Anak. UU Nomor 11 Tahun 2012. LN Tahun 2012 No. 153 TLN No. 5332.
Pengadilan Negeri Andolo. Putusan No. x/Pid.Sus-Anak/2022/PN Adl. RI melawan Anak (2022).
Smellie, David. Et al. Addressing Child-on-Child Abuse: a Resource for Schools and Colleges. London: Farrer & Co, 2022.
Kementerian Perlindungan Perempuan Anak (Kemenppa) Republik Indonesia. “Kemen PPPA: Resiliensi Digital Cegah Anak Menjadi Korban Kekerasan Seksual Online.” Kemenppa.go.id, 3 Juli 2024. Tersedia pada https://kemenpppa.go.id/page/view/NTI4NA==. Diakses pada 16 Desember 2024.
Artikel hukum ini ditulis oleh Farras Zidane Diego Ali Farhan – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).