Perkembangan teknologi digital telah mendorong pertumbuhan perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) di Indonesia. Namun, di balik kemudahan tersebut, marak terjadi peredaran barang palsu dengan merek terkenal, khususnya produk fashion seperti sepatu, tas, dan pakaian. Fenomena ini menimbulkan persoalan serius dalam penegakan hukum Hak Kekayaan Intelektual, khususnya merek, sekaligus menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas instrumen hukum yang berlaku.
Pasal 103 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis secara tegas mengatur bahwa pelanggaran terhadap merek merupakan tindak pidana. Namun, persoalan muncul karena ketentuan tersebut dikualifikasikan sebagai delik aduan, sehingga penegakan hukum hanya dapat dilakukan apabila pemilik merek yang dirugikan secara aktif mengajukan laporan. Hal ini sering kali membuat peredaran barang palsu terus berlangsung karena pemilik merek kesulitan melakukan pengawasan menyeluruh, terlebih di platform digital yang melibatkan ribuan penjual.
Dalam konteks marketplace, timbul pula isu mengenai tanggung jawab platform. Sebagai penyedia sarana perdagangan elektronik, marketplace sering berlindung di balik statusnya sebagai “intermediary” yang hanya memfasilitasi transaksi antara penjual dan pembeli. Namun, dari perspektif hukum perlindungan konsumen dan prinsip kehati-hatian, platform seharusnya turut bertanggung jawab mencegah peredaran barang palsu melalui mekanisme verifikasi penjual, sistem take down terhadap produk bermasalah, serta kerjasama aktif dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan aparat penegak hukum.
Peran konsumen juga tidak dapat diabaikan. Rendahnya kesadaran hukum membuat sebagian konsumen justru mendukung peredaran barang palsu karena tergiur dengan harganya yang murah, tanpa mempertimbangkan aspek legalitas dan kerugian ekonomi bagi pemilik merek asli. Oleh sebab itu, selain penegakan hukum pidana yang tegas, diperlukan pula edukasi kepada konsumen mengenai pentingnya menghargai hak merek sebagai instrumen perlindungan karya dan reputasi dagang.
Dengan demikian, penanggulangan pelanggaran merek di marketplace memerlukan pendekatan komprehensif berupa revisi regulasi untuk mempertegas tanggung jawab platform, optimalisasi mekanisme penegakan hukum meskipun sifatnya delik aduan, serta peningkatan literasi konsumen. Tanpa langkah strategis tersebut, ekosistem perdagangan digital berpotensi menjadi pusat peredaran barang palsu yang merugikan perekonomian nasional.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:
Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Artikel hukum ini ditulis oleh Elisabeth Graciella – Intern DNT Lawyers.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.