Menilik Proses Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tahun 2023 lalu, kini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai menggodok revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHP sebagai hukum pidana materil mengatur mengenai substansi dari tindak pidana, sedangkan KUHAP sebagai hukum pidana formil yang mengatur proses dan tata cara penanganan tindak pidana, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi. Meskipun KUHP dan KUHAP merupakan dua kodifikasi hukum yang terpisah, namun dalam pelaksanaan dan praktiknya kedua aturan hukum tersebut tidak dapat dipisahkan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP akan diundangkan pada tanggal 2 Januari Tahun 2026, sehingga perubahan atas KUHAP yang baru dianggap perlu guna menyesuaikan materi muatan yang telah diubah pada KUHP agar berkesinambungan dan dapat dilaksanakan pada proses penanganan tindak pidana. Setidaknya, ada tiga poin utama yang disampaikan pemerintah dalam revisi KUHAP. Pertama, upaya paksa. Kedua, pembuktian. Ketiga, penguatan peran advokat sebagai bagian yang terintegrasi dari sistem peradilan pidana.

Sebagai bagian dari upaya check and balances, terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR dalam proses revisi KUHAP, diantaranya:

  1. Partisipasi Publik
    Melihat proses revisi KUHP pada tahun 2023 lalu, isu transparansi dan partisipasi publik menjadi sangat krusial, proses penyusunan dan pembahasan yang kurang transparan hingga memicu penolakan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang berkewajiban melibatkan partisipasi masyarakat dan stake holder terkait, sebagai perwujudan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
  2. Perlindungan dan penguatan hak tersangka, terdakwa, maupun narapidana
    Pendampingan hukum dalam proses penyidikan menjadi bagian penting dalam memastikan hak-hak tersangka dan terdakwa tetap terjamin sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
  3. Penguatan peran advokat
    Dalam sistem peradilan di Indonesia, advokat ditempatkan sebagai pengemban profesi luhur (officum nobile) yang memiliki peran penting dalam penegakan hukum. Namun, masih terdapat sejumlah hambatan Advokat, misalnya dalam hal mengakses alat bukti maupun berkas-berkas perkara yang menjadi kebutuhan mendasar untuk kepentingan pembelaan maupun upaya hukum.

Dengan demikian, perlu untuk memastikan agar proses penyusunan KUHAP yang baru memperhatikan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan berpegang teguh pada prinsip proses hukum yang adil (due process of law).

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Yanda Wijaya Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Undang-Undang negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahnun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undan-Undang Hukum Pidana.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
  • Hafidzi, Anwar. “Eksistensi Advokat Sebagai Profesi Terhormat (Officium Nobile) dalam Sistem Negara Hukum di Indonesia.” Khazanah Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 13, No 1, September 2015.
Related Posts
WhatsApp chat