Mengenal Pertanggungjawaban Pengganti dalam UU Pengadilan HAM

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) merupakan pijakan penting dalam menegakkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia. Salah satu konsep penting dalam undang-undang ini adalah pertanggungjawaban pengganti, yang memungkinkan pihak yang tidak langsung melakukan pelanggaran untuk dimintai pertanggungjawaban hukum berdasarkan pemenuhan syarat-syarat tertentu.

Pertanggungjawaban pengganti, atau pertanggungjawaban komando, dalam UU Pengadilan HAM menetapkan bahwa seseorang dengan posisi hierarkis lebih tinggi dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran bawahannya jika pelanggaran tersebut terjadi karena kelalaian pengawasan atau bahkan akibat perintah langsung. Konsep ini diatur dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM, yang menyebutkan bahwa seorang komandan militer atau atasan sipil dapat dimintai pertanggungjawaban apabila mereka mengetahui, atau seharusnya mengetahui pelanggaran yang dilakukan oleh bawahannya, tetapi gagal mengambil tindakan untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran tersebut, atau menyerahkan pelaku kepada pihak berwenang.

Berdasarkan Pasal 42 UU Pengadilan HAM, prinsip pertanggungjawaban pengganti mensyaratkan 3 elemen utama, yaitu:

  1. Terdapat hubungan hierarkis antara pelaku dan Komandan/Pimpinan, yang dibuktikan dengan adanya pengendalian dan/atau kekuasaan efektif;
  2. Komandan/Pimpinan mengetahui atau seharusnya mengetahui tindakan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut; dan
  3. Komandan/Pimpinan gagal mengambil tindakan yang layak sesuai wewenangnya untuk mencegah atau menghentikan atau menyerahkan pelaku kepada pejabat yang berwenang.

Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka komandan atau pimpinan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukan oleh bawahannya.

Konstruksi ini tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme untuk menuntut keadilan, tetapi juga sebagai upaya mencegah impunitas. Dengan menjadikan pemimpin bertanggung jawab, UU ini memberikan sinyal tegas bahwa tidak ada ruang bagi pembiaran atau ketidakpedulian terhadap pelanggaran HAM. Prinsip pertanggungjawaban pengganti menjadi instrumen yang tidak hanya melindungi hak-hak korban, tetapi juga menanamkan budaya akuntabilitas dalam sistem hukum nasional. Hal ini menegaskan bahwa keadilan tidak hanya menyasar pelaku langsung, tetapi juga para pemimpin yang lalai dalam menjalankan tanggung jawabnya.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Anggia Hanifa – Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Fatimah, Fines, dan Arief, Barda Nawawi. “PERTANGGUNGJAWABAN PENGGANTI (VICARIOUS LIABILITY) DALAM KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. LAW REFORM 7, No. 2 (Oktober 2012): 1-42.
  • Kepaniteraan Mahkamah Agung. “Vicarious Liability”, Glosarium Hukum. Diakses pada 26 Maret 2025. https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/1895-vicarious-liability
  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Related Posts
WhatsApp chat