Mengenal Konsep Permaafan Hakim dalam KUHP yang Baru
Rechterlijk pardon atau permaafan hakim merupakan suatu konsep yang pada hakikatnya memberikan keluwesan pada hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada seseorang walaupun ia dinyatakan bersalah. Lebih lanjut, Rechterlijk pardon atau permaafan hakim merupakan konsep yang dapat dimaknai sebagai pengampunan oleh hakim atas kuasanya terhadap suatu perbuatan yang dinyatakan bersalah tanpa harus dijatuhi penjatuhan pidana. (Remmelink, 2003, hlm 456)
Konsep permaafan hakim atau yang lebih dikenal dengan istilah rechterlijk pardon, merupakan suatu konsep baru atau perkembangan dari KUHP (WvS) di zaman colonial. Konsep permaafan hakim diatur didalam Pasal 54 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”
Walaupun konsep permaafan hakim baru dirumuskan dalam KUHP Nasional dan belum dapat digunakan, namun terdapat putusan pengadilan yang mengadopsi konsep permaafan hakim seperti Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Nomor 46/pid/78/UT/Wanita atas nama terdakwa Ny. Ellya Dado. (Antonius, 2007, hlm 223-224) Dalam amar putusan tersebut, majelis hakim menjatuhkan vonis putusan lepas dari segala tuntutan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa pernyataan tersebut patut dipertimbangkan, sepanjang belum pernah ataupun belum ada yurisprudensi perkara seperti itu, akan tetapi tidak tertutup ataupun dilarang dipertimbangkan penyelesaian seprti demikian, pengadilan pada kesempatan ini akan mempertimbangkan sebagai berikut:
a. bahwa hakikat peradilan dan memberi keadilan, ialah memulihkan kembali ”kegalingan” (kepincangan) hubungan antara anggota masyarakat yang terganggu baik secara umum dan atau secara khusus, karena perbuatan seseorang;
b. bahwa dalam hal ini sebagai nyata dalam pernyataan dan penerimaan maaf, demikian pula kesepakatan ganti rugi atau kesanggupan mengganti rugi antara pihak-pihak akibat perbuatan telah dipulihkan, karenanya tidak melihat sesuatu alasan yang sangat prinsipil untuk menerapkan hukum secara harfiah atas perbuatan yang terbukti itu, bahkan adanya hukuman demikian akan menimbulkan, setidak-tidaknya akan meninggalkan cacat batin yang sesungguhnya tidak perlu lagi ada di antara pihak-pihak;
c. bahwa dalam penyelesaian perkara secara kekeluargaan, baik sebelum atau selama di persidangan, pengadilan patut dipertimbangkan yang demikian itu berdasar penjelasan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun 1970, yakni sebagai hakim yang bijaksana, berdasar pertimbangan hubungan baik antara pihak-pihak, menyatakan perbuatan yang terbukti itu tidak lagi merupakan perbuatan yang dapat dituntut hukuman.
Sumber:
Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Antonius Sudirman, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung: Citra Aditya Bakti,
Artikel hukum ini ditulis oleh Mohammad Thoriq – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).