31st January 2017
by Boris Tampubolon
Artikel, Hukum Pidana, News, Activities and Thought
0 comments
Menganalisa Pasal Korupsi (Suap) Yang Dikenakan Kepada Patrialis Akbar
Baru-baru ini kembali kita dihebohkan dengan penangkapan salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi yakni Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan pemberitaan yang ada[1], Patrialis ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 c atau Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Di bawah ini saya akan menguraikan unsur-unsur dari Pasal tersebut semoga bisa dengan mudah kita pahami.
Pasal 12 huruf c UU Tipikor berbunyi: “hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili”.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi yakni suap menurut Pasal ini maka harus memenuhi unsur-unsur:
-
Hakim;
-
Menerima hadiah atau janji;
-
Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahan kepadanya untuk diadili.
Jika berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap dipersidangan nanti terbukti bahwa Patrialis (seorang hakim), menerima hadiah (uang, benda, dsb) atau bahkan baru dijanjikan saja (belum terjadi penyerahan objek yang dijanjikan), yang mana patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, maka Patrialis Akbar bisa pidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sementara Pasal 11 UU Tipikor berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi yakni suap menurut Pasal ini maka harus memenuhi unsur-unsur:
-
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;
-
Menerima hadiah atau janji;
-
Diketahuinya;
-
Patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Jadi jika berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan terbukti atau terpenuhinya unsur-unsur di atas, maka Patrialis Akbar bisa dipindana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan Pada intinya dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Sebagai tambahan, rumusan Pasal 12 huruf c UU Tipikor berasal dari Pasal 420 Ayat 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)[2], yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971[3], dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 tahun 2001 (UU Tipikor).
Pasal 12 huruf UU Tipikor ini merupakan perbuatan hakim yang menerima suap yang mana tindakan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, dengan kata lain Hakim Menerima Suap adalah Korupsi.
Sedang, Pasal 11 UU Tipikor berasal dari Pasal 418 KUHP[4] yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971[5], dan Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001. Dengan kata lain, Pegawai Negeri Menerima Hadiah Yang Berhubungan Dengan Jabatannya Adalah Korupsi.
Sekian semoga bermanfaat.
Sumber:
Peraturan Perundang-Undangan
-
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
-
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
-
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi.
Internet:
[1]http://nasional.sindonews.com/read/1174576/13/patrialis-akbar-resmi-ditetapkan-sebagai-tersangka-1485439800
[2] Pasal 420 ayat 1 angka (1) KUHP: “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun: 1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya;”
[3] Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi: “barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.;”
[4] Pasal 418 KUHP: “Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya., hahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
[5] Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, Op.cit.
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/