Perkawinan paksa merupakan polemik yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kultur perkawinan paksa di Indonesia dilatarbelakangi oleh perpaduan kompleks antara adat istiadat, budaya patriarki, kemiskinan, dan pendidikan yang rendah. Seperti kasus Perkawinan siri sebagai langkah penyelesaian kasus antara pelaku perkosaan anak di bawah umur dengan korban berinisial DSA (15 tahun) di Kabupaten Purworejo merupakan salah satu contoh kasus pemaksaan perkawinan di Indonesia. DSA dan kakaknya yang berinisial KSH (17 tahun) melaporkan bahwa mereka menjadi korban pemerkosaan selama satu tahun terakhir oleh 13 orang tetangganya. DSA yang kemudian hamil dan telah melahirkan seorang bayi kemudian dipaksa untuk mengiyakan pernikahan siri dengan ancaman akan diusir dari desa apabila menolak.
Pemaksaan perkawinan merupakan salah satu jenis kekerasan seksual yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 (“UU TPKS”). Adapun ketentuan mengenai pemaksaan perkawinan diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) UU TPKS yang berbunyi:
“Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.00O.0O0,00 (dua ratus juta rupiah).”
Paksaan merupakan unsur yang menempatkan pemaksaan perkawinan ke dalam kategori tindak pidana kekerasan seksual. Dalam paradigma kekerasan seksual, ketiadaan persetujuan (consent) menjadi faktor paling penting dalam menentukan apakah suatu tindakan dapat disebut sebagai kekerasan seksual atau tidak. Selain ketentuan di atas, tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam pemaksaan perkawinan sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 ayat (2) UU TPKS, yaitu:
a. “perkawinan anak;
b. pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau
c. pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.”
Perkawinan siri di antara pelaku perkosaan dengan korban (DSA) di Purworejo dapat digolongkan sebagai tindakan pemaksaan perkawinan karena dilakukan terhadap anak dan relasi pelaku-korban perkosaan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a dan c UU TPKS. Apalagi dengan adanya fakta bahwa oknum aparat desa yang menempatkan korban di bawah kekuasaanya dengan ancaman pengusiran. Pasal 10 ayat (1) UU TPKS dengan baik menyadari berbagai karakteristik yang seringkali ditemukan dalam kasus kawin paksa di Indonesia. Contohnya unsur “melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain” yang dapat diaplikasikan dalam kasus DSA.
Jika melihat unsur tersebut, maka terdakwa pelaku pemaksaan perkawinan bukanlah pelaku pemerkosaan yang menikahi DSA, melainkan oknum aparat desa dan para pihak yang mengancam korban untuk melakukan perkawinan siri dengan pelaku. Hal ini karena oknum aparat desa dan para pihak tersebut menyalahgunakan kekuasaannya dan memaksa korban untuk melakukan perkawinan dengan orang lain. Dengan begitu, oknum aparat desa dan para pihak tersebut dapat dijerat menggunakan Pasal 10 ayat (1) UU TPKS dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 tahun.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pemaksaan perkawinan merupakan salah satu jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Masyarakat harus memahami bahwa praktik perkawinan seperti perkawinan paksa atas dasar adat istiadat, perkawinan anak, dan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan sudah dikategorikan sebagai tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Referensi
Badan Pusat Statistik (BPS), United Nations Children’s Fund (UNICEF), & Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA). (2020). Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda. Badan Pusat Statistik (BPS).
Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. UU Nomor 12 Tahun 2022. LN Tahun 2022 No. 120 TLN. 6792.
Planned Parenthood. “Sexual Consent.” Plannedparenthood.org. Tersedia pada https://www.plannedparenthood.org/learn/relationships/sexual-consent, Diakses pada tanggal 4 November 2024.
Rachmawati. “Kakak dan Adik di Purworejo Diperkosa 13 Tetangga, Hamil dan Dipaksa Nikah Siri.” Regional.kompas.com, 24 Oktober 2024. Tersedia pada https://regional.kompas.com/read/2024/10/24/204700378/kakak-dan-adik-di-purworejo-diperkosa-13-tetangga-hamil-dan-dipaksa-nikah?page=all. Diakses pada tanggal 4 November 2024.
Artikel hukum ini ditulis oleh Farras Zidane Diego Ali Farhan – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).