Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan transnasional yang kompleks dan kerap melibatkan sindikat lintas negara. Di Indonesia, modus yang paling marak beberapa tahun terakhir adalah rekrutmen tenaga kerja palsu ke luar negeri, khususnya ke Kamboja. Korban pada umumnya merupakan perempuan dan pemuda dari daerah dengan tingkat kesejahteraan rendah yang dijanjikan pekerjaan layak, namun pada kenyataannya mereka justru dieksploitasi.
Secara hukum, Indonesia telah memiliki instrumen penting seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Kedua aturan ini menegaskan larangan pengiriman pekerja secara non-prosedural serta mengatur mekanisme perlindungan sejak keberangkatan hingga kepulangan.
Dalam praktiknya, TPPO bermodus kerja biasanya dimulai dari tawaran menggiurkan melalui media sosial atau jaringan informal, tanpa melalui mekanisme resmi Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Korban dijanjikan pekerjaan sebagai customer service, admin, atau pekerja rumah tangga di negara-negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand. Namun kenyataannya, mereka dipaksa bekerja di industri ilegal seperti penipuan daring, kasino gelap, atau bahkan prostitusi.
Salah satu kasus perdagangan orang terbesar pada 2022–2023 terjadi ketika ratusan WNI direkrut untuk bekerja ke Sihanoukville, Kamboja. Mereka dijanjikan pekerjaan digital marketing, tetapi sesampainya di sana paspor mereka disita, komunikasi diputus, dan dipaksa bekerja hingga 18 jam per hari di perusahaan penipuan daring dengan target korban internasional. Pada tahun 2023, terjadi kasus lain di Nusa Tenggara Barat (NTB) yaitu perekrutan perempuan muda untuk jaringan prostitusi daring. Meski korban seolah “sukarela,” unsur penipuan dan penyalahgunaan posisi rentan sudah jelas terpenuhi.
Penegakan hukum menghadapi tantangan serius, terutama dalam pembuktian unsur eksploitasi yang banyak terjadi di luar yurisdiksi Indonesia. Kerja sama internasional juga masih terbatas, ditambah rendahnya kesadaran korban untuk melapor, serta modus perekrutan yang cair dan sulit dilacak.
Meski begitu, pemerintah terus memperkuat langkah penanggulangan. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), serta kementerian teknis lainnya secara proaktif memfasilitasi pemulangan korban, memperketat pengawasan perekrut, dan menjerat pelaku dengan pasal berlapis, termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pencegahan TPPO harus dilakukan secara menyeluruh dan multisektoral, literasi publik tentang migrasi aman perlu diperluas, daftar perusahaan resmi maupun ilegal harus dipublikasikan, serta pengawasan diperkuat hingga tingkat desa. Selain itu, kolaborasi internasional dan diplomasi di negara tujuan menjadi kunci agar perlindungan korban dan penindakan sindikat lintas negara bisa berjalan lebih efektif.
Dengan menjadikan kasus-kasus TPPO ke Kamboja sebagai pelajaran, Indonesia diharapkan tidak hanya memperkuat sistem hukum nasional, tetapi juga tampil sebagai pemimpin moral dalam pemberantasan perdagangan manusia. Penegakan hukum yang tegas, perlindungan menyeluruh bagi korban, dan edukasi masyarakat adalah kunci untuk menutup celah kejahatan kemanusiaan ini.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:
Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Artikel hukum ini ditulis oleh Yanda Wijaya – Intern DNT Lawyers.