Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan vonis 6,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi tata niaga timah, Harvey Moeis. Putusan ini menuai perhatian karena jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa sebesar 12 tahun penjara. Masyarakat mulai mempertanyakan keadilan putusan tersebut, mengingat kasus ini menyebabkan kerugian keuangan negara mencapai Rp300 triliun. Masyarakat sering kali merasa tidak berdaya dalam menghadapi situasi ini, padahal sebenarnya publik memiliki hak dan peran penting dalam menyuarakan keadilan.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah ditegaskan prinsip independensi Hakim, bahwa Hakim memiliki wewenang penuh untuk menjatuhkan vonis berdasarkan bukti, fakta persidangan, dan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian, untuk memastikan integritas pengadilan dan kepercayaan masyarakat, Hakim berkewajiban untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sebagai bentuk pengawasan terhadap perilaku Hakim, Komisi Yudisial diberi kewenangan melakukan pengawasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Perubahan UU KY). Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Yudisial dapat menerima laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran etik oleh hakim dan memberikan rekomendasi sanksi kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Lantas di mana peran dan hak masyarakat dalam merespons putusan yang dianggap tidak adil? Berdasarkan Pasal 22 Perubahan UU KY, masyarakat memiliki hak untuk mengadukan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim kepada Komisi Yudisial. Apabila publik menemukan keberadaan vonis yang dirasa tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan, maka masyarakat berhak mengirimkan laporan kepada Komisi Yudisial untuk selanjutnya dilakukan investigasi. Untuk menjalankan haknya dalam mengawal penegakkan keadilan, maka menjadi penting bagi masyarakat untuk memahami peran eksternal dalam melaporkan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim tersebut. Komisi Yudisial telah mengakomodasi hak masyarakat untuk ikut berperan mengawasi perilaku Hakim, yang dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu:
- secara online, dengan mengisi formulir pelaporan online yang berada di website resmi Komisi Yudisial (https://pelaporan.komisiyudisial.go.id/#layanan);
- mengirimkan laporan terkait dengan perilaku hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim melalui surat yang ditujukan kepada Ketua Komisi Yudisial dengan disertai persyaratan yang telah ditentukan dan dokumen pendukung yang dikirim ke Kantor Komisi Yudisial; dan
- datang langsung ke Kantor Komisi Yudisial dan menyerahkan laporan kepada Petugas Penerima Laporan Masyarakat Subbagian Administrasi Pelaporan Masyarakat.
Sedangkan dalam merumuskan laporan yang diajukan, masyarakat dapat membentuk laporan dalam bahasa Indonesia dengan format:
1. Identitas
a. pelapor, meliputi: nama, alamat, nomor telepon;
b. penerima kuasa (jika ada), meliputi: nama, alamat, pekerjaan, dan nomor telepon;
c. terlapor, meliput: nama, jabatan, instansi dan/atau nomor perkara jika terkait dengan putusan.
2. Pokok Laporan atau hal penting/pokok pikiran yang akan dipelajari/ditelaah oleh Komisi Yudisial
3. Kronologi/Kasus Posisi yang ditulis secara jelas dan singkat
4. Hal yang Dimohonkan
5. Lampiran Laporan
a. Bukti formal
Fotokopi identitas pelapor, fotokopi kartu tanda advokat (khusus advokat), dan surat kuasa khusus (jika menggunakan kuasa).
b. Bukti pendukung materiil
Fotokopi salinan resmi putusan/penetapan yang dilaporkan, video audio visual rekaman persidangan (jika ada), foto/kliping koran (jika ada), dan keterangan saksi secara tertulis di atas kertas bermeterai (jika ada).
Fenomena ‘vonis ringan’ sering kali mencerminkan kompleksitas sistem hukum yang tidak selalu dapat memenuhi ekspektasi masyarakat. Namun, masyarakat memiliki hak dan peran penting dalam merespons putusan tersebut. Dengan memanfaatkan mekanisme yang tersedia untuk melaporkan dugaan pelanggaran yang ada, masyarakat dapat berkontribusi untuk tercapainya keadilan substantif. Partisipasi publik dalam melaporkan dugaan pelanggaran etik kepada Komisi Yudisial akan membantu memastikan bahwa sistem peradilan bekerja secara transparan dan bertanggung jawab.
Referensi
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
CNN Indonesia. “Rusaknya Kepercayaan Publik di Balik Vonis Ringan Harvey Moeis Dkk”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241230120723-12-1182216/rusaknya-kepercayaan-publik-di-balik-vonis-ringan-harvey-moeis-dkk. (Diakses pada Senin, 6 Januari 2025).
Judicial Commission. “Pengawasan Perilaku Hakim”, https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/behavioural_surveillance_judge. (Diakses pada Senin, 6 Januari 2025).
Artikel hukum ini ditulis oleh Anggia Hanifa – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).