Ketika Hukum Bertemu Trauma: Apakah Aborsi Diperbolehkan bagi Korban Pemerkosaan?

Pemerkosaan merupakan tindakan kejahatan seksual yang melibatkan hubungan seksual yang dilakukan secara paksa oleh satu pihak kepada pihak lain tanpa persetujuan. Pemaksaan ini dapat dilakukan melalui kekerasan fisik, ancaman, atau tekanan psikologis. Pemerkosaan merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan melanggar hukum di banyak negara, termasuk Indonesia. Pemerkosaan membawa dampak multidimensional bagi korban yang meliputi aspek fisik, emosional, psikologis, dan medis, yang dalam sejumlah kasus dapat mengakibatkan kehamilan. Dalam kondisi ini, pertanyaan yang kerap muncul adalah: apakah aborsi boleh dilakukan oleh korban pemerkosaan?

Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Namun, dalam huruf b ayat (2) dijelaskan bahwa larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan apabila kehamilan akibat perkosaan dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Sehingga, aborsi dapat dilakukan oleh korban pemerkosaan selama korban telah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang, sebagaimana diatur dalam ayat (3) pasal yang sama. Selain itu, peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga memberikan panduan terkait aborsi akibat pemerkosaan. Peraturan tersebut mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan aborsi, termasuk prosedur yang harus diikuti, seperti pendampingan dan konseling bagi korban yang ingin melakukan aborsi.

Dengan adanya pengecualian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, negara memberikan perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan yang ingin menjalani aborsi. Ketentuan ini mencerminkan perhatian terhadap keselamatan dan kesejahteraan korban, terutama dalam menghadapi trauma yang mendalam. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan tenaga kesehatan untuk memahami hak-hak korban secara utuh, agar tidak terjadi reviktimisasi dalam proses pemulihan mereka.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Jennifer Angela Kezia – Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

Related Posts
WhatsApp chat