Keluarga Dalam Perkara Perceraian Dapat Menjadi Saksi Dan Wajib Disumpah, Ini Penjelasannya!
Selamat malam, saya beragama islam dan ingin cerai dengan suami karena antara saya dan suami terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Saya ingin mengajukan gugatan cerai tapi saksi-saksi yang tahu soal masalah ini hanya keluarga dekat saya. Padahal setahu saya keluarga tidak bisa dijadikan saksi. Pertanyaan saya apakah dalam kasus saya ini keluarga bisa dijadikan saksi dan disumpah? Ineke, Bandung.
Intisari:Dalam perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus (syiqaq) keluarga dapat menjadi saksi dan wajib disumpah. |
Umumnya, keluarga tidak bisa menjadi saksi di persidangan apalagi disumpah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 145 Herzien Indonesis Reglement (HIR), berbunyi:
“Sebagai saksi tidak dapat didengar:
1e. keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lulus.
2e. istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
3e. anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya lima belas tahun;
4e. orang, gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang”.
Penjelasan Pasal 145 HIR mengatakan: “Mengenai orang-orang yang disebutkan dalam, sub. 1 dan 2 di atas (keluarga), sebabnya mereka itu tidak sanggup menjadi saksi Wali oleh karena mereka itu tidak dapat dianggap tanpa memihak, sehingga keterangannya dengan demikian tidak dapat dipercaya.”
Dengan kata lain Penjelasan Pasal 145 HIR di atas dapat dimaknai bahwa saksi yang berasal dari keluarga tentu sangat sulit untuk berlaku obyektif dalam memberikan keterangan, dan secara psikologis akan selalu berpihak pada keluarganya, sehingga kalau demikian adanya, akan sulit dicari kebenaran yang sesungguhnya.
Namun dalam perkara perceraian, ada pengecualian. Keluarga (dalam hal-hal tertentu) dapat menjadi saksi dan disumpah dalam perkara perceraian.
Yang dimaksud hal tertentu adalah perceraian yang dadasarkan atas alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP No 1/1975)[1] yaitu pertengkaran/perselisihan terus menerus antara suami dan isteri atau yang disebut Syiqaq.[2]
Dasar hukum keluarga dapat menjadi saksi diatur secara khusus (lex spesialis)[3] dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) yang menyatakan:
“(1) Apabila gugatan perceraian di dasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus di dengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang orang yang dekat dengan suami isteri
(2) Pengailan setetelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.”
Pasal 22 PP 9/1975 menyatakan:
“(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.”
Berdasarkan uraian di atas, maka bisa disimpulkan keluarga dapat dijadikan saksi namun terbatas hanya pada gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf f PP 9/1975 yaitu Syiqaq.
Apakah saksi keluarga dalam perceraian karena Syiqaq disumpah?
Saksi keluarga dalam perceraian karena alasan Syiqaq wajib disumpah. Dasar hukumnya Angka 7 Bagian C Rumusan Hukum Kamar Agama, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, menyatakan:
“Penyelesaian perkara perceraian dengan alasan syiqaq menurut Pasal 76 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, sejak awal diajukan harus berdasarkan alasan syiqaq. Oleh karena itu keluarga wajib dijadikan saksi di bawah sumpah.”
Sebagai tambahan, mengapa dalam perkara perceraian undang-undang memberikan peluang keluarga diperkenankan menjadi saksi, dan bahkan merupakan keharusan?
Menurut Muhammad Rizki, S.H, Hakim Pengadilan Agama Atambua NTT dalam makalahnya “Logische Spesialiteit” Saksi Keluarga Dalam Perkara Perceraian, alasannya adalah bahwa tidak ada keluarga yang mengingkan perceraian terjadi kalau tidak terpaksa, artinya bahwa sangat mustahil saksi dari keluarga akan memberikan keteraangan yang tidak benar (bohong) hanya karena alasan menginginkan perceraian, sehingga dalam perkara perceraian keluarga akan berusaha obyektif memberikan keterangan.
Kesimpulan:
Pertama, Keluarga dapat menjadi saksi dalam perkara perceraian, tapi terbatas pada perceraian yang didasarkan pada alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf f PP 9/1975 yaitu Syiqaq.
Kedua, dalam perkara perceraian yang didasarkan pada Syiqaq, keluarga dapat atau harus dijadikan saksi dan wajib disumpah.
Sekian, semoga bermanfaat.
BACA JUGA: ALASAN-ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM
Referensi:
-
Rizki, Muhammad, “Logische Spesialiteit” Saksi Keluarga Dalam Perkara Perceraian”, https://docs.google.com/file/d/0B5DxaF_9ujxbWk52Z2dwODRnV2M/edit, diakses tanggal 2 Juni 2017
Dasar Hukum:
-
Herzien Indonesis Reglement/Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44);
-
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
-
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[1] Lihat Pasal 19 PP 9/1975:
“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
[2] Lihat Penjelasan Pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama: “Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri.”
[3] Sesuai asas hukum, karena Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ini sifatnya khusus (lex spesialis) sehingga mengesampingkan ketentuan dalam Pasal 145 HIR yang sifatnya umum (lex generalis)
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/