Kehamilan yang terjadi di luar ikatan perkawinan tetap menjadi isu hukum dan sosial yang rumit dalam konteks masyarakat Indonesia. Dalam ranah hukum keluarga, hubungan keperdataan antara laki-laki dan perempuan pada prinsipnya baru terbentuk apabila perkawinan dilangsungkan secara sah sesuai ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Oleh karena itu, ketika kehamilan terjadi tanpa adanya akad nikah, timbul persoalan yuridis yang signifikan mengenai ada atau tidaknya dasar hukum bagi perempuan untuk menuntut nafkah dari laki-laki yang menyebabkan kehamilan tersebut, serta mengenai hak anak yang kemudian lahir untuk menuntut pengakuan dan pertanggungjawaban dari ayah biologisnya.
UU Perlindungan Anak (UU 23/2002 jo. UU 35/2014), Pasal 26 ayat (1) menegaskan bahwa orang tua berkewajiban mengasuh, memelihara, melindungi, dan memenuhi kebutuhan anak. Kewajiban ini tidak dibatasi oleh status perkawinan orang tua. Secara hukum, nafkah dalam makna yuridis—yaitu makanan, pakaian, dan tempat tinggal—hanya berlaku bagi perempuan yang sudah berstatus istri sah. Tanpa adanya perkawinan, tidak ada hubungan hukum antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, perempuan tidak dapat menuntut nafkah istri. Namun, perempuan dapat menuntut biaya kehamilan, biaya persalinan, dan biaya perawatan pasca melahirkan yang dikualifikasikan sebagai tanggung jawab laki-laki akibat perbuatannya yang menimbulkan konsekuensi hukum terhadap anak. Dengan demikian, perempuan memperoleh hak terbatas, bukan nafkah dalam makna istri, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap anak yang dikandungnya.
Berdasarkan hal tersebut, sudah jelas bahwa anak di luar perkawinan juga memiliki hak untuk menuntut nafkah dari ayah biologisnya dengan syarat dapat dibuktikan hubungan biologisnya. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 menegaskan bahwa anak berhak atas identitas ayah biologis, nafkah, pengasuhan, dan perlindungan. Putusan tersebut menjadi dasar yang kuat bagi anak untuk menuntut hak nafkah, pengakuan, dan perlindungan, ayah yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dapat digugat secara perdata.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:
Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Artikel hukum ini ditulis oleh Intan Zahrani – Intern DNT Lawyers.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.











