Inkonsistensi Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Praperadilan “Kasus Century”
Putusan Praperadilan No. 24/Pid/Pra/2018P/PN.Jkt.Sel tanggal 9 April 2018 (Putusan Praperadilan) akhir-akhir ini menjadi kontroversi. Bermacam pendapat muncul soal putusan praperadilan tersebut.
Yang paling mencolok adalah putusan (hakim) praperadilan dianggap telah melampaui kewenangannya dengan mengambil kewenangan penyidik yang memerintahkan untuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk dalam kasus Bank Century.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan bahas soal amar putusan praperadilan tersebut yang memerintahkan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap bekas Wakil Presiden Boediono RI, dkk. Namun yang menarik menurut saya yakni soal pertimbangan hakim dalam menguji dasar permohonan praperadilan yang digunakan MAKI yang menurut saya terdapat fallacy of inconsistency[1] di dalam pertimbangannya.
Dasar Permohonan Praperadilan MAKI
Bila membaca putusan Praperadilan tersebut, sebetulnya yang menjadi dasar (objek) permohonan praperadilan dan tentunya menjadi isu pokok adalah soal Penghentian Penyidikan yang menurut Pemohon (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia/MAKI) adalah permohonan pemeriksaan tidak sahnya penghentian penyidikan secara materiil. (lihat Putusan Praperadilan hal. 4, 11, 16, 18, 20)
MAKI selaku pemohon intinya mendasarkan permohonanya pada Pasal 77 huruf a UU NO. 8 Tahun 1981 Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan “pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan” dengan mendalilkan bahwa tindakan Termohon (Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) sudah mengulur-ulur waktu, dan tidak ada laporan kemajuan atas perkara yang seharusnya ditangani dan tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan maka harus dimaknai tindakan KPK tersebut telah melakukan Penghentian Penyidikan atau setidak-tidaknya dimaknai telah melakukan Penghentian Penyidikan secara materil.
Atas “tuduhan” itu, KPK selaku termohon praperadilan mengajukan jawaban/eksepsinya. Dalam eksepsi/jawabannya KPK jelas membantah sekaligus mempersoalkan dasar permohonan praperadilan MAKI yaitu soal “Penghentian penyidikan secara materil”. Menurut KPK, dasar permohonan praperadilan MAKI yang menyatakan KPK telah menghentikan penyidikan secara materil itu premature dan tidak termasuk lingkup praperadilan.
Alasan KPK menyatakan premature karena hingga detik ini KPK belum pernah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan KPK memang tidak boleh menerbitkan SP3, sehingga sangat wajar bila dasar permohoanan MAKI dianggap premature.
Kemudian alasan KPK menyatakan dasar permohonan MAKI di luar lingkup praperadilan karena kewenangan praperadilan telah diatur secara limitatif di dalam KUHAP, Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, dan Peraturan Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016, yang mana terkait alasan penghentian penyidikan, KPK belum pernah mengeluarkan SP3 terhadap kasus Century dan memang KPK tidak berwenang menerbitkan SP3. Sehingga dalil MAKI menyatakan KPK telah menghentikan penyidikan (materil) jelas tidak berdasar hukum, hanya asumsi MAKI dan bukan ruang lingkup praperadilan.
Pertimbangan Hakim Menolak Eksepsi KPK
Dalil KPK di atas, ditolak Hakim praperadilan. Pertama, alasan “premature” ditolak Hakim Praperadilan dengan alasan (lihat Putusan Praperadilan hal. 57):
“Hakim Praperadilan berpendapat kalau memang Termohon tidak atau belum mengeluarkan SP3 dengan alasan Termohon dalam undang-undang tidak ada kewenangan untuk menerbitkan SP3, harus ada penjelasan secara hukum sampai kapan status seseorang yang disebutkan dalam dakwaan yang di junctokan dengan Pasal 55 KUHP apakah akan diteruskan atau dikeluarkan dari dakwaan tersebut, sehingga dengan demikian apa yang diinginkan demi tegaknya hukum dan keadilan, masyarakat pencari keadilan harus dapat mengujinya dan hakim berpendapat bahwa lembaga praperadilan sebagai lembaga kontrol secara horizontal setiap tindakan penegak hukum sehingga permohonan ini tidak prematur dan dengan demikian eksepsi ini tidak beralasan dan harus ditolak”
Kedua, Dalil “bukan ruang lingkup praperadilan” ditolak Hakim Praperdilan dengan alasan (lihat Putusan Praperadilan hal. 58-59):
“Hakim praperadilan berpendapat bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang mengemukakan bahwa untuk memenuhi maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan, serta dengan memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam Undaang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan hak asasi manusia, yang termaktub dalam BAB XA UUD 1945, maka setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia, dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan , meskipun hal tersebut dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 jungto Pasal 77 huruf a KUHAP……..dst;
Menimbang, bahwa lembaga praperadilan tugasnya adalah sebagai lembaga kontrol secara horizontal atas setiap kegiatan atau tindakan penegak hukum yang dilakukan dalam proses melaksanakan hukum formil dalam KUHAP dan kalau ada yang belum jelas atau remang-remang disitulah tugas hakim untuk memberi penjelasan atau penafsiran sebagaimana diatur dlam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman No. 48 Tahun 2009, Undang Undang Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan konstitusi kita UUD 1945, bahwa penegak hukum bukan hanya menegakkan hukum tetapi juga menegakkan hukum dan keadilan, sehingga dengan demikian eksepsi ini tidak beralasan dan harus ditolak;”
Beranjak dari pertimbangan hakim praperadilan yang menolak eksepsi KPK di atas, yang mempersoalkan tentang Pengentian penyidikan secara materil, menurut Saya dapat dipahami bahwa sebetulnya hakim sepakat dengan dasar permohonan MAKI dengan alasan bahwa:
Pertama, dari pertimbangan Hakim praperadilan pada poin “premature” dapat ditafsirkan bahwa kalau memang KPK tidak mau dikatakan telah meghentikan penyidikan (SP3) maka KPK harus memberikan penjelasan secara hukum sampai kapan status seseorang yang disebutkan dalam dakwaan yang di junctokan dengan Pasal 55 KUHP apakah akan diteruskan atau dikeluarkan dari dakwaan tersebut. Dengan kata lain selama KPK tidak dapat memberikan penjelasan secara hukum sampai kapan status seseorang yang disebutkan dalam dakwaan yang di junctokan dengan Pasal 55 KUHP apakah akan diteruskan atau dikeluarkan dari dakwaan tersebut, maka KPK harus dianggap telah menghentikan penyidikan terahadap perkara tersebut.
Kedua, dengan mengutip pertimbangan MK dalam pertimbangan pada poin ”bukan ruang lingkup praperadilan”, Hakim seolah telah memaknai objek praperadilan secara luas, tidak hanya terbatas pada alasan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, dan Perma No. 4 Tahun 2016, melainkan setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia, dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan ditambah ada tugas hakim untuk memberi penjelasan atau penafsiran bila ada ketentuan hukum yang belum jelas atau remang-remang.
Oleh karenanya, dari pertimbangan hakim dalam Eksepsi yang menolak dalil KPK yang secara esensi mempersoalkan dasar permohonan MAKI soal “Penghentian penyidikan secara materil” dapat disimpulkan bahwa sebetulnya Hakim sependapat dengan MAKI bahwa dasar permohonan MAKI tidak premature, dan termasuk ruang lingkup praperadilan. Dengan kata lain hakim mengakui adanya penghentian penyidikan secara materil.
Inkonsistensi Putusan Praperadilan “Kasus Century”
Sebagaimana kita tahu, yang menjadi dasar permohonan Praperadilan MAKI adalah “Penghentian penyidikan secara materil”. Dasar permohonan ini yang dipersoalkan “mati-matian” oleh KPK di dalam eksepsinya. Namun Hakim praperadilan menolak eksepsi KPK dengan segala pertimbangannya sebagaimana diuraikan di atas. Bila kita beranjak dari rasio pertimbangan hakim pada bagian eksepsi putusan praperadilan, maka dapat dimaknai Hakim sebetulnya sependapat dengan dasar permohonan MAKI yaitu adanya Penghentian Penyidikan secara materlil oleh KPK, sehingga menolak eksepsi KPK.
Dalam pokok Perkara, ditegaskan lagi bahwa yang menjadi pokok persoalan dalam permohonan praperadilan ini adalah soal Penghentian penyidikan secara materil” (lihat Putusan Praperadilan hal. 63). Namun anehnya, Hakim praperadilan justru tidak sependapat dengan Pemohon (MAKI) bahwa KPK telah melakukan penghentian penyidikan secara materil (lihat putusan praperadilan hal 75). Alasan Hakim praperadilan adalah ini lebih kepada masalah kesadaran KPK untuk segera lebih cepat memulai penyidikan dan penuntutan kasus Century agar bisa tuntas (lihat putusan praperadilan hal. 74)
Dari pertimbangan-pertimbangan hakim baik dalam eksepsi dan pokok perkara terlihat jelas inkonsistensi dalam pertimbangan/argumennya (fallacy of consistency). Sebetulnya baik di dalam eksepsi maupun pokok perkara, hal yang menjadi esensi atau pokok persoalan adalah sama, yaitu soal penghentian penyidikan secara materil. Namun terhadap persoalan yang sama, hakim malah memberikan argumen/pertimbangan yang berbeda dan saling bertolak belakang.
Di dalam eksepsinya, KPK mempersoalkan dasar permohonan MAKI dengan mengatakan permohonan MAKI premature dan bukan ruang lingkup praperadilan. Namun hakim menolak eksepsi tersebut. Yang bisa dimaknai hakim sependapat dengan MAKI bahwa dasar permohonan praperadilan MAKI (penghentian penyidikan secara materil) tidak premature dan dasar penghentian penyidikan secara materil termasuk ruang lingkup praperadilan.
Namun dalam pokok perkara yang juga sama-sama mempersoalkan tentang penghentian penyidikan secara materil, hakim justru tidak sependapat dengan MAKI. Tapi anehnya tetap mengabulkan permohonan MAKI.
Inilah yang menurut saya telah terjadi fallacy of inconsistency dalam argumen/pertimbangan hakim praperadilan. Sehingga dalam konteks “logic” (metode penalaran) pertimbangan/argumen hakim ini keliru sehingga kualitasnya lemah dan tidak cukup meyakinkan.
Seharusnya, bila hakim menolak eksepsi KPK yang mempersoalkan penghentian penyidikan secara materil, maka dalam pokok perkara praperadilan hakim juga seharusnya sependapat dengan MAKI terkait alasan penghentian penyidikan secara materil. Sehingga kesimpulannya (petitumnya) mengabulkan permohoanan MAKI.
Atau bila hakim dalam pokok perkara tidak sependapat dengan alasan permohonan MAKI tentang Penghentian penyidikan secara materil, maka petitum praperadilan seharusnya menolak permohonan praperadilan MAKI karena secara esensi objek permohonan praperadilan MAKI tidak berdasar.
Atau bila dalam pokok pekara hakim tidak sependapat dengan MAKI seharusnya hakim menolak dalil eksepsi KPK dengan menyatakan bahwa objek permohonan sudah masuk dalam pokok perkara, sehingga beralasan untuk dibahas lagi di dalam pokok perkara, bukan menggunakan pertimbangan yang terkesan mengafirmasi atau menyetujui alasan praperadilan MAKI, namun pada akhirnya (dalam pokok perkara) malah melahirkan pertimbangan yang tidak konsisten. Namun terlepas dari itu, sebagai orang yang mengerti hukum dan mengingat asas hukum res judicata pro veritate habetur, maka putusan praperadilan ini harus tetap dianggap benar dan wajib dihormati dan dihargai.
[1] Fallacy of Inconsistency adalah salah satu bentuk kekeliruan/kerancuan dalam proses berpikir (penalaran)
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/