Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) untuk diperingati setiap tanggal 30 Agustus. Peringatan ini diawali oleh adanya peristiwa penghilangan paksa masyarakat yang terjadi di Amerika Latin. Penghilangan paksa juga termasuk ke dalam bentuk pelanggaran HAM berat yang menjadi sebuah permasalahan global yang terjadi di sejumlah negara dengan indikasi adanya militerisme dan otoritarianisme yang kuat. Salah satu negara yang juga memiliki sejarah terhadap penghilangan orang secara paksa ialah Indonesia.
Deklarasi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa merupakan langkah awal dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk dapat memberikan dukungan moral kepada para keluarga korban yang ditinggalkan sebagai bentuk keprihatinan dan juga kesadaran. Deklarasi tersebut dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 1992 yang kemudian membawa kepada disahkannya Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa atau International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance pada tanggal 30 Agustus 2011.
Bentuk penghilangan paksa yang terjadi ialah perampasan kemerdekaan suatu individu dengan tindakan berupa penangkapan, penculikan, maupun penahanan. Hal ini sendiri tertuang di dalam Pasal 2 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa yang kemudian mendefinisikan penghilangan paksa sebagai penangkapan, penahanan, penculikan atau bentuk-bentuk perampasan kemerdekaan lainnya yang dilakukan oleh aparat- aparat negara atau oleh orang-orang maupun kelompok yang bertindak dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan dari negara, yang diikuti dengan penolakan untuk mengakui adanya perampasan kemerdekaan atau penyembunyian nasib atau keberadaan orang yang hilang sehingga menempatkan orang yang hilang tersebut di luar perlindungan hukum.
Peristiwa penghilangan paksa di Indonesia sendiri cukup menjadi sebuah sorotan dari masa ke masa dikarenakan penyelesaiannya yang masih belum menemukan titik terang hingga saat ini. Pada tahun 2009, Panitia Khusus (Pansus) DPR RI mengeluarkan 4 (empat) rekomendasi kepada presiden untuk penyelesaian kasus penghilangan paksa, yaitu:
- Membentuk Pengadilan HAM ad-hoc;
- Melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang hilang;
- Melakukan rehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang;
- Meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa (ICPPED) sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di
Hingga kini bangsa Indonesia belum juga melakukan rekomendasi Pansus DPR yang telah dirancang sejak tahun 2009 itu sehingga regulasi yang mengatur untuk kemudian dapat membantu proses penyelesaian kasus penghilangan paksa di Indonesia menjadi terhambat. Saat ini regulasi yang dapat kemudian digunakan terkait penghilangan orang secara paksa ialah Pasal 599 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP) yang mana baru dapat berlaku pada tahun 2026 mendatang sehingga terhadap peristiwa-peristiwa yang telah lewat di masa lampau pun belum juga dapat terselesaikan.
Keadaan dimana Indonesia belum meratifikasi ICPPED ditambah dengan tidak ada regulasi yang juga dapat mendesak untuk diusutnya kasus penghilangan paksa di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru ini tidak sejalan dengan amanat dari Konstitusi Republik Indonesia mengenai jaminan hak untuk hidup, hak untuk dapat mendapatkan perlindungan dari kekerasan juga diskriminasi, serta hak untuk dapat mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar. Peristiwa ini terjadi pada periode 1997-1998, jelang pemilihan Presiden (Pilpres) untuk periode 1998- 2003. Saat itu, terdapat 2 (dua) agenda politik besar yang tengah disiapkan yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Maret 1998 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI.
Oleh karenanya, dengan memperingati Hari Internasional Anti Penghilangan Paksa ini seharusnya dapat menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia untuk kemudian segera mengusut tuntas terkait kasus penghilangan orang secara paksa yang pernah terjadi diberbagai wilayah di Indonesia seperti peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penembakan Misterius, Darurat Militer Aceh, Wasior, Wamena, Abepura, pelanggaran HAM Timor Leste yang salah satunya kemudian mengakibatkan ribuan anak terpisah dari orang tuanya, serta peristiwa penculikan aktivits pro demokrasi pada tahun 1997-1998. Hal ini dikarenakan kasus penghilangan orang secara paksa ini juga termasuk jenis pelanggaran HAM berat walaupun hingga saat ini Indonesia belum juga meratifikasi ICPPED.
Sumber:
Ashri, Abdul Munif, dkk, “Hak atas Kebenaran Bagi Korban Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998”, Jurnal JENTERA 2, no.2, (2021).
ELSAM, “Peringatan Hari Internasional Anti Penghilangan Paksa: Sahkan Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, Temukan yang Hilang”, (Diakses pada Senin, 26 Agustus 2024 Pukul 15.00 WIB).
Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.
Artikel hukum ini ditulis oleh Joyce Yedija – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).