Hakim Tidak Boleh Memutus Orang Bersalah Hanya Berdasarkan Keyakinan Saja
Bagaimana seharusnya hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana? Menurut hukum, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang hanya berdasarkan keyakinan saja, melainkan harus didukung dengan minimal dua alat bukti yang sah.
Pasal 183 Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selengkapnya berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari bunyi Pasal 183 KUHAP di atas, dapat dipahami bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:
-
Kesalahannya terbukti sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”, dan
-
Atas keterbuktian minimal dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan benar terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Soal alat bukti, KUHAP sudah mengaturnya secara limitatif, yaitu dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: Keterangan saksi, keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa.(Baca: Alat Bukti Menurut KUHAP) Sehingga untuk membuktikan kesalahan seseorang minimal harus dua dari antara alat bukti di atas, tidak bisa hanya didasarkan pada satu alat bukti saja untuk menghukum seseorang.
Apa itu alat bukti yang sah?
Salah satu parameter hukum dalam pembuktian pidana yang dikenal dengan bewijsvoering yaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah (unlawful legal evidence) maka bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian sehingga harus dikesampingkan oleh hakim (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016).
Selanjutnya, alat bukti yang dihadirkan di persidangan juga harus kualitatif (relevan) dengan kasusnya. Sebanyak apapun bukti yang dihadirkan jika tidak ada relevansinya maka alat bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian (nol).
Apa itu keyakinan hakim?
Keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran (Vardiansyah, 2008 : Hal.5). Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar atau, keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Contoh: Pada suatu masa, manusia pernah meyakini bahwa bumi merupakan pusat tata surya, belakangan disadari bahwa keyakinan itu keliru.
Sebagai seorang hakim, ia memang diberikan kewenangan subjektif untuk meyakini apakah seseorang itu bersalah atau tidak. Namun keyakinannya tersebut tidak boleh berdiri sendiri. Melainkan harus bersumber dari alat-alat bukti atau minimal dua alat bukti yang sah seperti diuraikan di atas.
Menurut saya, sah-sah saja semua orang di dunia ini, termasuk hakim berkeyakinan jika si A bersalah. Namun kalau bicara hukum, seharusnya kita tetap berpegang teguh pada hukum acara (KUHAP) yang berlaku.
Saya sepakat dengan pendapat Prof. Subekti (Subekti, 2015 : Hal.2) yang mengatakan, keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti. Apabila hakim mendasarkan putusannya hanya kepada keyakinannya semata, maka disitulah ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan terjadi.
Kesimpulannya, Hakim tidak boleh menghukum orang bersalah hanya berdasarkan keyakinannya, melainkan harus didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah. Dari alat bukti itu lah ia memperoleh keyakinan tentang bersalah atau tidaknya seseorang (terdakwa).
Akhir kata saya ingin mengutip adigium hukum yang terkenal, “lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah !”
Sumber:
-
Subekti, Hukum Pembuktian: Balai Pustaka, 2015, Jakarta.
-
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar: Indeks, Jakarta 2008.
Dasar Hukum:
-
Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Putusan Pengadilan:
-
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/