Gelombang Pengungsi Kembali Datang: Seperti Apa Status Hukum Pengungsi di Indonesia?

Indonesia kembali menghadapi tantangan besar dengan meningkatnya gelombang kedatangan pengungsi dalam beberapa tahun terakhir. Pada awal Januari 2025, lebih dari 200 pengungsi Rohingya telah mendarat di pesisir Aceh, menambah jumlah total pengungsi yang tiba di Indonesia pada tahun ini menjadi 264 orang. Kondisi ini tidak hanya menyoroti krisis kemanusiaan yang memerlukan perhatian internasional, tetapi juga keterbatasan Indonesia dalam memberikan perlindungan yang memadai di tengah keterbatasan mengakomodasi para pengungsi.

Isu ini semakin kompleks karena Indonesia bukan negara pihak dari the Convention relating to the Status of Refugees 1951 (Refugee Convention 1951) maupun the Refugee Protocol relating to the Status of Refugees 1967 (Refugee Protocol 1967). Konsekuensinya, negara ini tidak memiliki kewajiban internasional untuk secara resmi mengakui status pengungsi atau untuk menyediakan payung hukum nasional yang menyeluruh terkait pengungsi. Situasi ini mengundang pertanyaan terkait kepastian status hukum bagi para pengungsi di wilayah Indonesia.

Sebagai bagian dari upaya masyarakat internasional dalam menangani isu pengungsi, the Office of the High Commissioner for Refugees (UNHCR) memiliki peran penting dalam perlindungan hak-hak pengungsi. Berdasarkan instrumen hukum pengungsi internasional, pada umumnya terdapat 2 jenis konsekuensi hukum dari status pengungsi, yaitu:

  1. Pengungsi konvensi, diberikan kepada pengungsi yang berada di wilayah negara pihak Refugee Convention 1951. Negara tersebut bertanggung jawab atas prosedur penetapan status serta perlindungan hak pengungsi sesuai dengan hukum pengungsi internasional.
  2. Pengungsi mandat, diberikan kepada pengungsi yang berada di wilayah negara non-pihak Refugee Convention 1951. Dalam hal ini, penetapan status serta penanganan pengungsi dilakukan oleh UNHCR dengan asistensi dari negara transit, yang umumnya pengungsi tersebut akan memperoleh hak-hak dasar sesuai hukum internasional.

Dengan demikian, UNHCR berperan sebagai lembaga yang memastikan pemenuhan hak-hak dasar yang dimiliki oleh para pengungsi, khususnya di wilayah negara transit.

Sebagai negara yang tidak meratifikasi Refugee Convention 1951 maupun Refugee Protocol 1967, Indonesia berstatus sebagai negara transit, dimana ‘pengungsi mandat’ dapat ditampung sementara sebelum melanjutkan perjalanan ke negara tujuan akhir. Meskipun demikian, Indonesia memiliki komitmen dalam menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia. Hal ini tercermin dengan ratifikasi Indonesia terhadap the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment of Punishment (UNCAT). Dalam Pasal 3 ayat (1) UNCAT dimuat terkait kewajiban negara pihak untuk memberlakukan prinsip non-refoulment, yaitu larangan untuk memulangkan atau mengekstradisi pencari suaka ke negara asalnya dimana terdapat cukup alasan untuk mempercayai bahwa individu terkait akan mengalami resiko penganiayaan atau ancaman lain terhadap hidupnya. Sebagai bentuk implementasi komitmen ini dan keadaan peningkatan masuknya pengungsi di Indonesia, kemudian diberlakukan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres PPLN), yang menjadi dasar hukum nasional dalam menangani pengungsi. Peraturan ini mencakup identifikasi, perlindungan sementara, dan pengelolaan tempat penampungan. Namun, Perpres PPLN tidak memberikan status hukum pengungsi secara penuh atau hak tinggal jangka panjang.

Berdasarkan Perpres PPLN, penentuan status dan pengelolaan pengungsi adalah tanggung jawab dari UNHCR, sedangkan pemerintah Indonesia berperan dalam memberikan dukungan fasilitatif selama pengungsi menetap sementara di wilayah negara. Jika pengajuan status pengungsi ditolak oleh UNHCR, Indonesia berhak untuk melakukan deportasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, peran UNHCR dalam penanganan pengungsi di Indonesia sangat krusial, karena penentuan status akan menentukan legitimasi keberadaan individu terkait di wilayah Indonesia sampai dapat melanjutkan perjalanan ke negara ketiga tempat penerima pengungsi.

Dapat disimpulkan bahwa status hukum pengungsi di Indonesia adalah sebagai ‘pengungsi mandat’ berdasarkan keputusan UNHCR. Sebagai negara transit, Indonesia tidak memiliki kewajiban internasional sebagaimana diatur dalam Refugee Convention 1951 maupun Refugee Protocol 1967, tetapi tetap berkomitmen menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pengungsi di Indonesia hanya diberikan perlindungan sementara hingga mereka dapat melanjutkan perjalanan ke negara penerima pengungsi.

 

 

Referensi

Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment of Punishment (1985).

Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.

Karuni, Kadek Diah. “INTERNATIONAL LEGAL PROTECTION STUDY FOR REFUGEES THROUGH THE 1951 REFUGEE CONVENTION AND 1967 PROTOCOL.” Ganesha Law Review 5, no. 2 (2023): 10–19.

Purwoko, Bayu, Margaretha Hanita, dan Stanislaus Riyanta. “ANALYZING THE THREAT OF FOREIGN REFUGEES EXISTENCE IN INDONESIA THROUGH THE INTELLIGENCE PERSPECTIVE.” Indonesian Journal of Multidisciplinary Science 2, no. 12 (September 2023): 4217–29.

CNBC Indonesia. “Gelombang Terbaru Pengungsi Rohingya Tiba di Aceh, PBB Buka Suara”. Diakses 20 Januari 2025. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250106120317-4-601005/gelombang-terbaru-pengungsi-rohingya-tiba-di-aceh-pbb-buka-suara.

UNHCR. “About UNHCR.” Diakses 22 Januari 2025. https://www.unhcr.org/about-unhcr.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Anggia Hanifa – Intern DNT Lawyers.

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).

Related Posts
WhatsApp chat