Bukti Minim Bukan Halangan untuk Melaporkan Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pelecehan non-fisik dapat berupa komentar verbal, gerak tubuh, atau tindakan yang mempermalukan korban, sedangkan pelecehan fisik secara langsung menyasar pada tubuh korban. Kasus ini sering terjadi di ruang privat, seperti kamar atau ruang tertutup sehingga tidak ada saksi yang menyaksikan langsung pelecehan tersebut. Selain itu, korban sering kali tidak langsung melapor karena rasa takut atau malu, yang dapat menyebabkan alat bukti yang diperlukan untuk pembuktian memudar atau hilang. Hal-hal tersebut menyebabkan pembuktian pelecehan seksual menjadi suatu hal yang cukup sulit karena minimnya bukti yang dimiliki oleh korban.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memperkuat perlindungan korban dengan menetapkan alat bukti sah. Pasal 24 UU TPKS mengatur bahwa alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana kekerasan seksual adalah sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana, ditambahkan dengan alat bukti lain seperti informasi elektronik, dokumen elektronik, dan barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana kekerasan seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.

Dalam pembuktian tindak pidana kekerasan seksual, keterangan saksi dan/atau korban dapat dianggap cukup jika disertai dengan satu alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwa adalah pelakunya.

Namun, dalam praktiknya, kasus pelecehan seksual sering kali tidak memiliki saksi yang melihat kejadian secara langsung atau bukti fisik, sehingga hanya korban yang dapat memberikan keterangan saksi. Pasal 25 ayat (3) UU TPKS mengatur bahwa jika keterangan saksi hanya dapat diperoleh dari korban, maka kekuatan pembuktiannya dapat didukung oleh:

a. orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan perkara tindak pidana kekerasan seksual, meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana tersebut;

b. saksi yang keterangannya berdiri sendiri tetapi ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu dan keterangannya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah baik dalam kualifikasi sebagai keterangan saksi maupun petunjuk; dan/atau

c. ahli yang membuat alat bukti surat dan/atau ahli yang mendukung pembuktian tindak pidana.

Saksi sebagaimana disebutkan pada Pasal 25 ayat (3) huruf a biasanya dapat berupa orang yang mendengar cerita saksi korban setelah kejadian, seperti teman atau keluarga, dan orang yang mengetahui hubungan korban dengan orang-orang sekitarnya.

Dengan demikian, meskipun tidak ada saksi atau bukti fisik, keterangan korban dapat didukung dengan saksi lain yang berhubungan dengan tindak pidana kekerasan yang dialami oleh korban atau melalui pemeriksaan psikologis.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Nasyifa Sabilli Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
  • Asfinawati, et al. (2024). Pedoman Pemaknaan Pasal Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Jakarta: Konsorsium Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual, LBH APIK, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, & Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Related Posts
WhatsApp chat