Bolehkah Ahli Waris Menolak Waris?

Sistem hukum waris di Indonesia bersifat pluralistik, terdiri dari tiga sub-sistem yang saling berdampingan: hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum perdata (KUHPerdata). Ketika seseorang wafat, harta peninggalannya berpindah kepada para ahli waris menurut sistem hukum yang berlaku atau dipilih. Dalam proses ini, timbul persoalan hukum mengenai kemungkinan seorang ahli waris menolak hak warisnya, terutama jika warisan disertai beban utang atau potensi sengketa.

KUHPerdata secara eksplisit memberikan hak kepada setiap orang untuk menolak warisan. Prinsipnya, tidak ada kewajiban hukum untuk menerima warisan, terutama jika penerimaannya justru menimbulkan kerugian, seperti keharusan menanggung utang pewaris. Penolakan waris adalah instrumen perlindungan hukum yang sah.

Namun penolakan ini harus dilakukan melalui mekanisme formal: pernyataan tertulis kepada Pengadilan Negeri di wilayah terbukanya warisan. Dokumen pendukung meliputi surat permohonan, identitas, akta kematian pewaris, surat keterangan ahli waris, dan dua orang saksi. Jika tidak dilakukan secara resmi, berlaku asas presumptio acceptationis, yaitu dugaan hukum bahwa warisan diterima secara diam-diam.

Ahli waris tidak diperkenankan menerima sebagian dan menolak sebagian warisan. Putusan PN Jakarta Selatan No. 75/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. mempertegas bahwa penolakan hanya sah apabila diajukan sebelum ahli waris melakukan tindakan apa pun atas harta warisan. Mahkamah Agung dalam putusan No. 2157 K/Pdt/1991 menyatakan bahwa bila seluruh ahli waris menolak warisan, maka harta dianggap tidak terurus dan dapat dikelola oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Jika dalam waktu 30 tahun tidak ada klaim yang sah, harta tersebut menjadi milik negara.

Dalam keadaan tertentu, kreditur pewaris dapat mengajukan permohonan menerima warisan atas nama ahli waris yang menolak, namun hanya sebatas nilai piutang yang dimiliki.

Berbeda dari KUHPerdata, hukum Islam tidak mengenal konsep penolakan warisan secara formal. Berdasarkan asas ijbari, peralihan warisan terjadi secara otomatis kepada ahli waris setelah pewaris wafat, tanpa perlu persetujuan atau penolakan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 187 ayat (2) KHI yang menyatakan bahwa harta waris, setelah dikurangi utang dan biaya pengurusan jenazah, wajib dibagikan kepada para ahli waris.

Meskipun demikian, hukum Islam memberikan ruang untuk menyelesaikan persoalan pembagian warisan secara kekeluargaan melalui mekanisme takharruj, yakni pengunduran diri sukarela dari hak waris. Takharruj bersifat konsensual dan dapat dilakukan dengan atau tanpa kompensasi, serta idealnya dituangkan dalam dokumen tertulis yang ditandatangani di hadapan notaris, KUA, atau disahkan di Pengadilan Agama.

Takharruj tidak membebaskan pihak yang mengundurkan diri dari tanggung jawab bersama terhadap utang pewaris, namun secara sah mengakhiri haknya atas harta waris. Pasal 183 KHI menjadi dasar hukum praktik ini, yang mengedepankan asas musyawarah dan keadilan dalam pembagian harta waris.

Putusan Pengadilan Agama Surabaya No. 1251/Pdt.G/2023/PA.Sby merupakan contoh konkret di mana Pengadilan mengesahkan akta takharruj sebagai bentuk kesepakatan damai antar ahli waris, menunjukkan bahwa mekanisme ini diterima dalam praktik peradilan meskipun belum banyak diangkat dalam yurisprudensi Mahkamah Agung.

Penolakan warisan dalam sistem hukum Indonesia memiliki corak yang berbeda tergantung sistem hukumnya. Dalam KUHPerdata, penolakan merupakan hak hukum yang harus dilakukan secara prosedural di Pengadilan untuk menghindari tanggung jawab atas beban warisan. Di sisi lain, hukum Islam menolak adanya penolakan formal, namun memberikan jalan keluar melalui takharruj sebagai bentuk musyawarah dan pengunduran diri sukarela dari hak waris.

Bagi masyarakat Indonesia yang hidup dalam ruang hukum yang plural, pemilihan sistem waris seharusnya mempertimbangkan aspek hukum, sosial, dan spiritual secara menyeluruh. Penyelesaian waris idealnya tidak hanya menjunjung norma hukum positif, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai keadilan, kekeluargaan, dan kemaslahatan bersama. Dalam konteks ini, takharruj menjadi jembatan antara hukum normatif dan kearifan lokal yang mendukung penyelesaian damai dan berkeadilan.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Yanda Wijaya Intern DNT Lawyers.

 

 

Related Posts
WhatsApp chat