Praktik outsourcing di Indonesia sering kali menimbulkan berbagai permasalahan bagi pekerja. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan efisiensi perusahaan, dalam praktiknya banyak pekerja outsourcing yang tidak mendapatkan hak-hak mereka secara memadai. Salah satu masalah utama adalah ketidakjelasan hubungan kerja. Pekerja outsourcing sering kali tidak mengetahui pihak yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak mereka, apakah perusahaan penyedia jasa atau perusahaan pengguna.
Akibatnya, hak-hak seperti upah yang layak, jaminan sosial, dan kesejahteraan sering terabaikan. PP Nomor 35 Tahun 2021 menegaskan bahwa perusahaan pengguna jasa wajib memenuhi hak-hak pekerja outsourcing, termasuk jaminan sosial dan upah yang sesuai. Selain itu, disparitas upah juga menjadi permasalahan yang sering dialami oleh pekerja outsourcing. Pekerja outsourcing pada umumnya menerima upah lebih rendah dibandingkan pekerja tetap yang melakukan pekerjaan serupa.
Padahal, berdasarkan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 64 PP No. 35 Tahun 2021, perusahaan pengguna jasa harus memastikan bahwa pekerja outsourcing mendapatkan hak normatif yang setara, termasuk Tunjangan Hari Raya (THR) dan jaminan kesehatan. Namun, dalam praktiknya masih banyak perusahaan yang mengabaikan kewajiban tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan menegakkan sanksi tegas terhadap perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan ini.
Permasalahan lain yang sering dihadapi oleh pekerja outsourcing adalah ketidakpastian status kerja. Banyak pekerja outsourcing yang terikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), sehingga tidak memiliki jaminan keberlanjutan pekerjaan. PP Nomor 35 Tahun 2021 mengatur bahwa dalam hal terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa, pekerja outsourcing harus tetap mendapatkan perlindungan atas hak-haknya.
Apabila perusahaan pengguna jasa atau penyedia jasa yang baru tidak menjamin kelangsungan kerja, maka mereka tetap bertanggung jawab untuk memenuhi hak pekerja. Ketentuan ini merupakan langkah penting untuk menjaga stabilitas pekerjaan bagi pekerja outsourcing. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, pekerja outsourcing perlu memiliki pemahaman yang memadai mengenai hak-hak mereka sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan PP No. 35 Tahun 2021.
Berdasarkan Pasal 18 Ayat 3 PP No. 35 Tahun 2021, perusahaan penyedia jasa (alih daya) tetap memiliki tanggung jawab untuk memastikan pemenuhan hak-hak pekerja, termasuk upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul. Dengan demikian, perusahaan penyedia jasa juga bertanggung jawab secara langsung untuk memenuhi hak-hak pekerja outsourcing sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan melaporkan pelanggaran hak-hak mereka ke Dinas Ketenagakerjaan atau Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Apabila perusahaan terbukti tidak memenuhi kewajibannya, pekerja berhak menuntut hak-hak mereka melalui jalur hukum. Selain itu, pekerja juga bisa memperjuangkan hak mereka dengan bergabung dalam serikat pekerja yang dapat memberikan dukungan hukum.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:
Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Artikel hukum ini ditulis oleh Muhammad Faqhi Ferrari Azriel – Intern DNT Lawyers.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Sebagai perbandingan regulasi sebelum revisi UU Cipta Kerja).











