Bagaimana Perlindungan Hukum Nasabah yang Diteror oleh Debt Collector Pinjol Ilegal?

Fenomena pinjaman online (pinjol) ilegal di Indonesia saat ini telah berkembang menjadi krisis serius yang menjerat masyarakat dengan iming-iming dana cepat namun berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Praktik ini kerap dilakukan dengan cara penagihan yang meresahkan, dimana para debt collector tidak segan melakukan intimidasi verbal, penyebaran foto atau video pribadi, hingga meneror pihak lain di luar debitur dan kontak daruratnya yang tidak tahu-menahu mengenai hutang tersebut. Tindakan agresif ini jelas bertentangan dengan hukum.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan batasan yang sangat tegas mengenai etika penagihan melalui Peraturan OJK Nomor 10/POJK.05/2022 dan Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023. Berdasarkan regulasi tersebut, setiap upaya penagihan wajib mematuhi norma kesopanan dan dilarang keras menggunakan tekanan fisik maupun mental.

Tindakan debt collector yang mempermalukan debitur, meneror dengan kata-kata kasar, atau menagih di luar jam operasional yang wajar adalah pelanggaran langsung terhadap pedoman perilaku yang diatur dalam POJK tersebut. Lebih parah lagi, aturan ini juga melarang penagihan kepada pihak ketiga yang tidak berutang, namun debt collector ilegal justru sering menargetkan keluarga atau teman debitur sebagai sarana intimidasi.

Tindakan debt collector yang sering mengakses galeri foto atau menghubungi kontak darurat tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap privasi. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Secara spesifik, Pasal 65 ayat (1) dan (3) undang-undang ini melarang setiap orang untuk memperoleh, mengumpulkan, dan menggunakan data pribadi yang bukan miliknya secara melawan hukum.

Pelanggaran terhadap pasal ini memiliki konsekuensi berat sebagaimana diatur dalam Pasal 67, dimana pelakunya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp5 miliar. Artinya, jika ada penagih yang menyebarkan foto KTP atau wajah nasabah ke grup WhatsApp kantor atau keluarga tanpa izin, mereka dapat dipidana.

Perlindungan hukum bagi nasabah juga mencakup ranah siber, terutama ketika penagihan dilakukan melalui pesan elektronik seperti WhatsApp atau SMS yang berisi ancaman. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua UU ITE, terdapat sejumlah pasal yang dapat menjerat pelaku teror digital.

Pasal 29 dalam undang-undang ini melarang setiap orang mengirimkan informasi elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Selain itu, Pasal 27B ayat (2) juga melarang pendistribusian informasi elektronik yang memuat ancaman pencemaran nama baik dengan maksud agar diketahui umum. Dengan demikian, ancaman seperti “bayar atau data Anda kami viralkan” merupakan bukti kuat tindak pidana siber yang dapat dilaporkan ke kepolisian.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Muhammad Faqhi Ferrari Azriel Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP)
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
  • Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 19/SEOJK.06/2023
  • Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (Paylater)
  • Antara News, ”OJK ungkap pinjol ilegal marak karena server ada di luar negeri(diakses 20 November 2025) https://www.antaranews.com/berita/4452425/ojk-ungkap-pinjol-ilegal-marak-karena-server-ada-di-luar-negeri
Related Posts
WhatsApp chat