Kebebasan beragama merupakan hak naluriah yang didapatkan setiap manusia sejak dia lahir. Dalam kemajuan zaman yang mendorong kompleksitas karakter dan pemikiran masyarakat, tidak menutup kemungkinan akan ada permintaan kebebasan atas beragama yang disalahartikan. Saat ini terdapat uji materiil di Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan hingga Undang-undang Hak Asasi Manusia oleh pemohon dari Jakarta pada akhir Oktober 2024. Permohonan tersebut didasari dengan keinginan pemohon untuk hidup bebas menganut ateisme, tanpa diskriminasi dan keterbatasan hak di Indonesia.
Ateisme merupakan pandangan atau keyakinan yang menyangkal atau tidak meyakini keberadaan Tuhan maupun entitas ilahi. Secara etimologi, kata “ateisme” berasal dari bahasa Yunani “atheos,” yang berarti “tanpa Tuhan,” dengan “a” bermakna tidak dan “theos” berarti Tuhan.1
Pengaturan kebebasan rakyat Indonesia untuk menganut agama yang dipilihnya diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 di beberapa pasal. Terdapat Pasal 28E dan Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan:
Pasal 28E
- “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
- Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Pasal 29 Ayat (2)
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Selain diatur dalam Undang-Undang Dasar, adapun dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (“UU HAM”) menyatakan:
- “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.”
Hak beragama merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun, yang dikenal sebagai non-derrogable rights. Maka kebebasan untuk memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara, dan negara wajib menjamin kemerdekaan setiap individu untuk memeluk agamanya serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Mengenai orang yang tidak memeluk agama, tidak ada hukum perundang-undangan yang dengan tegas melarang adanya penganut atheis di Indonesia. Namun, seseorang yang menganut paham atheism memiliki konsekuensi hukum yang krusial, yaitu tidak dapat menikmati hak – hak yang dirasakan oleh para penganut agama di Indonesia. Seperti kesulitan untuk mengurus segala keperluan administratif dan kesulitan mengurus perkawinan.
Bahkan terkait paham ateisme diatur juga dalam ketentuan hukum pidana. Dalam Pasal 156a KUHP melarang orang yang meyakini paham ateis serta agnostik untuk disebarkan dengan niat mengajak orang lain untuk tidak menganut agama apapun.2 Lebih lanjut lagi telah diatur dalam KUHP baru, menurut Pasal 302 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2023 KUHP menetapkan bahwa setiap orang yang menghasut orang lain untuk tidak beragama dapat dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak kategori III.
Terlepas dari berbagai norma yang telah ditetapkan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa tidak ada regulasi yang secara eksplisit mengatur mengenai ateis ataupun orang yang menganutnya sehingga keberadaannya tidak dapat diakui di Indonesia dan bahkan dilarang untuk disebarluaskan di Indonesia.
Referensi
Mila Rima Dani (2022). Konsep Ketuhanan: Ateisme. Relinesia: Jurnal Kajian Agama dan Multikulturalisme Indonesia. https://jurnal.anfa.co.id/index.php/relinesia/article/view/180
Advent Kristanto Nababan (2023). Apakah Boleh Menjadi Ateis di Indonesia?. Hukum Online https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-boleh-menjadi-ateis-di-indonesia-lt4f4545a9b77df/
Artikel hukum ini ditulis oleh Khalisyah Amara Podungge – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).