Hak menyampaikan pendapat di muka umum melalui demonstrasi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, dan diatur lebih lanjut dalam UU No. 9 Tahun 1998. Namun, hak tersebut tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi demi ketertiban umum, dengan kewajiban penyelenggara memberitahukan kepada Polri dan larangan demonstrasi di lokasi tertentu. Polisi, berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002, berwenang mengamankan unjuk rasa serta menggunakan diskresi secara sah, dengan syarat menghormati hukum, etika, dan HAM.
Batas kewajaran tindakan kepolisian diukur dari prinsip legalitas (berdasar hukum), nesesitas (hanya bila sangat perlu), dan proporsionalitas (seimbang dengan ancaman). Perkap No. 16 Tahun 2006 mengatur klasifikasi situasi unjuk rasa kode tersebut berwarna hijau, kuning, merah. Hijau menandakan aman terkendali, Kuning menandakan situasi sedikit ricuh, dan warna Merah menandakan situasi tidak aman dan perlu tahapan dalam Pengendalian Massa (Dalmas). Perkap No. 1 Tahun 2009 dan Perkap No. 8 Tahun 2009 mewajibkan aparat mengutamakan pencegahan, peringatan, dan hanya menggunakan kekuatan secara bertahap (misalnya water cannon, gas air mata) hingga tindakan tegas terukur jika terjadi ancaman serius terhadap jiwa. Penggunaan senjata api dengan peluru tajam hanya dibenarkan dalam keadaan luar biasa, sesuai standar HAM internasional.
Kriteria batas wajar tindakan kepolisian meliputi adanya ancaman nyata, peringatan lebih dahulu, penggunaan kekuatan seimbang dengan ancaman, dan penghentian tindakan segera setelah situasi terkendali. Aparat yang bertindak di luar koridor tersebut dapat dianggap melakukan excessive use of force. Oleh karena itu, akuntabilitas dan pengawasan mutlak diperlukan, baik melalui mekanisme internal kesatuan Profesi dan Keamanan (Propam) maupun eksternal Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Regulasi ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi warga dan kewajiban negara menjaga ketertiban umum dalam kerangka demokrasi.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:
Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Artikel hukum ini ditulis oleh Arya Sulistiawan – Intern DNT Lawyers.
Referensi
- Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28J ayat (2)
- Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
- Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI (beserta Penjelasannya)
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
- Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
- Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. kontras.org
- Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. kontrassurabaya.org
- Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2010 (jo. Perkap No. 2 Tahun 2019) tentang Penanggulangan Huru-Hara.
- Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 Tahun 2005) dan Konvensi Anti Penyiksaan (UU No. 5 Tahun 1998).
- Nora Listiawati, “Penanganan Aksi Massa Berdasarkan Undang-Undang,” PID Polda Kepri, 6 Jan 2023. pid.kepri.polri.go.idpid.kepri.polri.go.id.
- KontraS, “Penggunaan Senjata Api oleh Polri,” Laporan 19 Juni 2022kontras.org.
- Federasi KontraS, Siaran Pers 29 Agustus 2025: “Gugurnya Affan Kurniawan: Kejahatan Negara yang Mengancam Demokrasi dan HAM”