Forensik Digital merupakan tindakan penting untuk memastikan keutuhan dan validitas data dari suatu bukti elektronik agar dianggap sah di hadapan persidangan.
Pada penanganan cyber crime yang kerap terjadi, bukti elektronik menjadi hal esensial untuk mencari kebenaran materiil. Akan tetapi, perlu tindakan khusus terhadap bukti elektronik karena sifatnya yang mudah hilang atau berubah (volatile) sebagaimana tertuang dalam Pasal 22 Ayat (2) huruf a Perkapolri No. 10 Tahun 2009.
Merujuk pada Pasal 6 UU ITE, syarat untuk menentukan sah atau tidaknya bukti elektronik adalah informasi yang tercantum di dalamnya harus:
A. Dapat diakses;
B. Ditampilkan;
C. Dijamin keutuhannya; dan
D. Dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Persyaratan di atas dapat dipenuhi melalui forensik digital karena dengan tindakan ini penegak hukum akan dimudahkan untuk memulihkan, menganalisis, dan menyajikan suatu materi elektronik sebagai bukti yang sah (Fikma, 2019, hlm. 48).
Sumber:
Fikma, I. (2019). Pengantar hukum siber. Sai Wawai Publishing.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 pada perubahan pertama dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 pada perubahan kedua (UU ITE).
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri No. 10 Tahun 2009).
Artikel hukum ini ditulis oleh Kemas M. Galfadillah – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).