Perjanjian pinjam nama (nominee agreement) merupakan suatu konsep perjanjian, di mana terdapat penunjukkan yang dilakukan oleh suatu pihak untuk menunjuk pihak lain dalam hal bertindak atas si pemberi sebagai perwakilan terkait hal-hal khusus. Misalnya, dalam hal kepemilikan tanah, praktik yang marak terjadi adalah perjanjian pinjam nama yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA) untuk mendapatkan hak milik atas tanah di Indonesia. WNA akan membuat perjanjian pinjam nama dengan pihak lain yang merupakan warga negara Indonesia (WNI) agar pihak WNA tersebut dapat menguasai sertifikat hak milik atas tanah dan pihak WNI hanya dipinjam namanya secara sukarela untuk kepentingan pihak WNA.
Hal tersebut sejatinya bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi:
“Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.”
Selain itu, dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA juga menegaskan bahwa:
“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seorang WNA tidak diperbolehkan oleh hukum untuk memiliki sertifikat hak milik atas tanah di Indonesia. Oleh karena itu, perjanjian pinjam nama antara WNA dan WNI terkait kepemilikan tanah sudah seharusnya batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu syarat kausa yang halal.
Adapun, sengketa terkait praktik perjanjian pinjam nama terkait dengan kepemilikan tanah pernah diputus dalam Putusan Nomor 4233 K/Pdt/2022. Putusan tersebut merupakan contoh dari praktik perjanjian pinjam nama terkait kepemilikan tanah di Indonesia. Duduk perkaranya adalah Penggugat yang merupakan WNA ingin menguasai secara sah terkait hak milik atas tanah di Indonesia yang terdaftar atas nama Tergugat sebagai WNI. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa perjanjian pinjam nama batal demi hukum sebab merupakan suatu bentuk penyelundupan hukum. Penyelundupan hukum merupakan merupakan tindakan yang mengesampingkan keberlakuan hukum nasional dengan menundukkan diri pada hukum asing, yang mana motif tujuan penundukkan tersebut tidak sah menurut hukum nasional.
Maka dari itu, perjanjian pinjam nama terkait hak milik tanah yang dilakukan oleh seorang WNA adalah tidak sah.
Artikel hukum ini ditulis oleh Aulia Azmi Marcellinov Ramadhan – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).