Seorang dukun dapat dilaporkan atas praktik santet yang dilakukannya apabila melanggar Pasal 252 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Di Indonesia, praktik santet oleh dukun sangat lumrah untuk dilakukan. Hampir sebagian besar kasus-kasus hukum yang terjadi melibatkan praktik ilmu gaib, seperti kasus Aulia Kesuma dalam Putusan PT JAKARTA Nomor 346/PID/2020/PT DKI. Terdakwa Aulia Kesuma membayar dua dukun santet untuk melakukan penyantetan terhadap suaminya. Ia kemudian meminta para dukun santet tersebut untuk membunuh suaminya dengan ilmu gaib. Namun, perbuatan santet yang dilakukan oleh dukun tidak berhasil sehingga Terdakwa menggunakan cara lain untuk membunuh korban yaitu dengan membakar korban.
Selain kasus diatas, terdapat kasus lain yaitu seorang dukun yang mengiming-imingi dapat menyembuhkan penyakit ambeien kepada seorang perempuan berusia 19 tahun. Selama proses penyembuhan, perempuan tersebut dipaksa untuk memenuhi hawa nafsu dukun dan diancam apabila ia melapor atau mengadu maka penyakit ambeien tersebut tidak akan sembuh dan akan menyebar ke satu keluarganya.
Praktik perdukunan di Indonesia tidak hanya terbatas pada santet, tetapi juga banyak masyarakat yang lebih memilih untuk berobat ke dukun dibandingkan ke tenaga kesehatan yang tersedia. Selain dua kasus diatas, masih banyak kasus lainnya yang terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang masih konservatif sehingga lebih mempercayai dukun. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”), dukun adalah orang yang mengobati, orang yang dapat menolong orang sakit, orang yang memberikan jampi-jampi (mantra, guna-guna, dan sebagainya), sedangkan yang dimaksud dengan santet adalah sihir. Istilah santet ini kadang digunakan untuk menyebut praktik memasukkan benda-benda asing ke perut korban, yang merupakan salah satu bentuk sihir oleh dukun. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa dukun dapat melakukan perbuatan menyembuhkan bahkan melukai dan menyebabkan kematian kepada seseorang dengan memberikan jampi-jampi, mantra, atau guna-guna dengan bantuan ghaib.
Oleh sebab itu, kemudian dibentuk dan dibuatnya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Di dalam KUHP tersebut diatur mengenai praktik ilmu gaib yang dapat menimbulkan kerugian bahkan kematian bagi orang lain untuk mendapatkan keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencarian, hal tersebut termaktub di dalam Pasal 252 KUHP yang menyatakan:
Pasal 252 KUHP
- “Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
- “Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).”
Memperhatikan rumusan Pasal 252 ayat (1) UU 1/2023 di atas, terdapat beberapa unsur perbuatan pidananya, yaitu:
- setiap orang
Subjek hukum pidana terbagi menjadi 2: orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon) yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. - yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain;
Seseorang yang mengakui (pengakuan). Pernyataan yang dibuat oleh seseorang yang mempunyai kemampuan supranatural dapat dibuktikan kebenarannya melalui rekaman atau kehadiran saksi-saksi yang mendengar pernyataan tersebut. - bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang.
Kata “dapat” menekankan bahwa rumusan Pasal ini merupakan delik formil. Artinya, perbuatan pidana telah timbul sejak perbuatan dilakukan. Tidak diperlukan pembuktian mengenai benar atau tidaknya konsekuensi yang dimaksud terpenuhi.
Berdasarkan penjabaran unsur tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pasal 252 KUHP menitikberatkan kepada tindakan pelaku santet yang dalam hal ini adalah dukun yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain, bukan pada akibat santet itu sendiri, karena dalam hal ini perbuatan santet adalah delik formil. Dengan demikian, seorang dukun dapat dilaporkan ke pihak kepolisian tanpa harus dibuktikan dampak dari santet yang dilakukan olehnya.
Referensi
Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. UU Nomor 1 Tahun 2023. LN Tahun 2023 No. 1 TLN No. 6842
Nadhir Attamimi, “Kronologi Dukun Perkosa Mahasiswi Hingga Hamil Modus Obati Ambeien”, https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-7013163/kronologi-dukun-perkosa-mahasiswi-hingga-hamil-modus-obati-ambeien, Diakses pada 22 November 2024 Pukul 13.45 WIB.
Topo Santoso. Asas-Asas Hukum Pidana.(Depok: Rajawali Pers Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada, 2023),129.
Artikel hukum ini ditulis oleh Clarine Felicia – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).