Apakah Perbedaan Hardship dan Force Majeure dalam Perjanjian?

Dalam hukum kontrak, terdapat dua konsep penting yang dapat mempengaruhi keberlakuan dan pelaksanaan perjanjian, yaitu Force Majeure (Overmacht) dan Hardship. Keduanya berkaitan dengan keadaan yang timbul setelah perjanjian dibuat dan dapat mengubah keseimbangan kontrak, namun memiliki perbedaan yang mendasar, baik secara konsep maupun akibat hukumnya. Force Majeure merupakan peristiwa di luar kendali para pihak yang menyebabkan salah satu pihak sama sekali tidak mungkin melaksanakan prestasinya, seperti banjir, gempa bumi, atau kebakaran besar. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Force Majeure diatur secara implisit dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245, yang pada intinya membebaskan pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi dari kewajiban membayar ganti rugi apabila kegagalan tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa.

Sementara itu, Hardship adalah doktrin yang berkembang dalam praktik internasional, di mana pelaksanaan kontrak masih mungkin dilakukan, tetapi menjadi jauh lebih berat atau memberatkan salah satu pihak karena perubahan keadaan yang signifikan, seperti krisis ekonomi, lonjakan harga pasar, atau perubahan kurs valuta asing. Berbeda dengan Force Majeure, Hardship belum memiliki pengaturan khusus di Indonesia, namun pernah dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim dalam Putusan MA No. 20/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Dps dengan mengacu pada UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICC) Pasal 6.2.1.

Perbedaan utama keduanya terletak pada akibat hukum yang timbul. Dalam Hardship, Pasal 6.2.3 UPICC secara tegas memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk meminta renegosiasi kontrak dengan menunjukkan dasar permintaan tersebut. Artinya, ketika terbukti kontrak terdampak Hardship, pihak yang dirugikan langsung memiliki hak untuk meminta penyesuaian perjanjian. Sebaliknya, dalam Force Majeure, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit memberikan hak renegosiasi otomatis, sehingga pihak yang terdampak harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan pihak lainnya apabila menghendaki perubahan perjanjian.

Dengan demikian, meskipun keduanya sama-sama berangkat dari perubahan keadaan, Force Majeure cenderung berujung pada pembebasan kewajiban atau penghentian kontrak, sedangkan Hardship lebih mengarah pada penyesuaian kontrak agar tetap dapat dilaksanakan secara adil bagi para pihak.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Charline Dominique – Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICC)
  • Agus Yudha Hernoko (2006) Force majeure clause atau hardship clause: Problematika dalam perancangan kontrak bisnis. Jurnal Hukum
Related Posts
WhatsApp chat