Ketahui 5 Perubahan Aturan Anti Monopoli Pasca UU Cipta Kerja
Dunia usaha tidak lepas dari adanya persiangan. Namun pada kenyataannya, perkembangan usaha seringkali diwarnai dengan persaingan usaha yang tidak sehat seperti adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu dalam bentuk praktik monopoli. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, lahirlah Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Latrangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU Anti Monopoli”).
Setelah berlaku selama 20 tahun, UU Anti Monopoli dianggap perlu diubah, karena sudah tidak sesuai lagi perkembangan situasi dunia usaha saat ini. Untuk itu Pemerintah melalui pengundangan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) merubah beberapa poin substansial dalam UU Anti Monopoli. Apa saja perubahannya?
1. Institusi dan Tata cara Pengajuan Keberatan
Pasal 44 ayat (2)
Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
Pasal 45 ayat (3)
Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada awalnya, di Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Latrangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU Anti Monopoli”), Pengajuan keberatan dilakukan ke Pengadilan Negeri setelah 14 hari Terlapor menerima putusan KPPU. Namun dari pasal diatas, maka pengajuan keberatan tidak lagi ke Pengadilan Negeri namun ke Pengadilan Niaga. Oleh karenanya tata cara pemeriksaan serta jangka waktunya berubah mengikuti tata cara Pengadilan Niaga
2. Penegasan perintah penghentian kegiatan pelaku usaha
Pasal 47 ayat (2) huruf c
Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22,Pasal 23, Pasal 24,Pasal 26, dan Pasal 27
Pada UU Anti Monopoli, tidak ada penjelasan lingkup pasal mana saja yang masuk terhadap penghentian kegiatan ini. Dikarenakan terlalu bias, sehingga dalam UU Cipta Kerja ditergaskan meliputi pasal diatas.
3. Penghapusan batasan maksimal denda
Pasal 47 ayat (2) huruf g
pengenaan denda paling sedikit Rp1.OOO.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Padahal sebelumnya maksimal pengenaan denda diatur sejumlah Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
4. Pemangkasan Pidana Pokok
Dalam UU Cipta Kerja hanya mengatur pidana pokok terhadap pelanggaran Pasal 41, dimana dipidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda.
Sebelumya dikenakan pidana pokok unyuk pelanggaran pasal lainnya. Selain itu, pidana dendanya ditetapkan paling rendah Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan pidana kurungan pengganti denda paling lama 3 bulan.
5. Pidana tambahan dihapus
Pada UU Anti Monopoli, diatur mengenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, larangan menduduki jabatan direksi atau komisaris paling kurang 2 tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau penghentian kegiatan. Namun dalam UU Cipta Kerja, Pidana tambahan dihapus keseluruhan.
Jadi, terdapat 5 poin perubahan terhadap aturan anti monopoli pasca UU Cipta Kerja disahkan yaitu Institusi dan tata cara pengajuan keberatan, penegasan perintah penghentian kegiatan pelaku usaha, pengahpusan batasan maksimal denda, pemangkasan pidana pokok dan pidana tambahan yang dihapus.
Artikel hukum ini ditulis oleh Amaliah Aisyah Nursyahbani Kamaru, Legal Intern di DNT Lawyers. Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 6329-683 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).