Ketahui Kewenangan Polisi Virtual
Kebebasan berpendapat merupakan hak fundamental warga negara yang dijamin oleh negara. Kebebasan berpendapat dapat mendorong kontribusi masyarakat dalam memberi masukkan terhadap program-program pemerintah. Indonesia, sebagai negara yang demokratis, mengatur kebebasan ini dalam Pasal 28F UUD 1945. Aturan ini memberi jaminan bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk memperoleh dan menyuarakan opini mereka melalui segala jenis saluran yang tersedia.
Namun, pada Februari 2021, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran Kapolri No. 2/II/2021 yang memberlakukan aturan virtual police. Tujuan dari virtual police adalah memberikan upaya preventif untuk memonitor dan mencegah potensi terjadinya tindak pidana siber. Virtual police bekerja di dunia maya dengan cara mengirimkan virtual alert bagi pengunggah konten yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, Perkapolri No. 6 Tahun 2019 tidak merinci lebih lanjut terkait jenis konten yang dikategorikan ilegal. Apabila merujuk pada UU ITE, konten yang dilarang untuk didistribusikan di dunia maya meliputi informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan, mengandung muatan perjudian, mengandung muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Virtual police beroperasi dengan mengirimkan virtual alert sebanyak dua kali kepada pengguna sosial media berisikan imbauan untuk menghapus isi konten dalam waktu 1×24 jam serta dasar hukum yang dilanggar. Dalam memeriksa isi konten, polisi akan meminta pendapat tim ahli untuk mengetahui apakah konten tersebut merupakan pelanggaran atau tidak. Bila merupakan pelanggaran, polisi akan mengirim virtual alert sebanyak dua kali kepada pengguna untuk merevisi atau menghapus unggahan tersebut. Apabila pengunggah konten menolak untuk menghapus maka Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri akan mengirimkan undangan klarifikasi yang bersifat tertutup.
Aturan virtual police ini sejalan dengan Pasal 20 International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyatakan bahwa ada limitasi terhadap kebebasan berpendapat yaitu kewajiban untuk menghargai hak orang lain dan tidak membahayakan keamanan nasional serta ketertiban umum. Di era 4.0 dimana masyarakat dapat dengan mudahnya mengunggah beragam jenis konten, aturan virtual police dinilai bukanlah sebuah pembatasan terhadap kebebasan berpendapat karena konten yang dinilai menyimpang telah disaring oleh ahli sehingga tidak semata-mata penilaian subjektif penyidik Polri. Di samping itu, meninjau Surat Edaran Kapolri No. 2/II/2021 yang hanya berlaku bagi internal institusi Polri saja, maka dari itu pemerintah perlu membuat payung hukum yang lebih jelas dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi masyarakat.
Artikel hukum ini ditulis oleh Mutiara Rinaldi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Intern Student di DNT Lawyers. Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 6329-683 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).