Pengacara/Advokat dan Bantuan Hukum (Struktural)
A. Kewajiban Pengacara/Advokat Memberikan Bantuan Hukum Cuma-Cuma
Salah satu kewajiban Pengacara/Advokat adalah memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang miskin. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang Advokat (UU Advokat) berbunyi, “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”
Bahkan Undang-Undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum), tidak hanya membatasi pada Pengacara/Advokat saja yang bisa memberi bantuan hukum, melainkan dosen, paralegal, dan mahasiswa fakultas hukum juga boleh memberikan bantuan hukum (liat Pasal 9 UU Bantuan Hukum), tentu dengan syarat dan kualifikasi yang sudah ditetapkan.
Kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi profesi advokat tidak lepas dari prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak setiap orang untuk didampingi advokat tanpa kecuali. Bantuan hukum merupakah hak asasi manusia bukan wujud belas kasihan sehingga sifatnya wajib. Bantuan hukum merupakan penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam mengentaskan ketidakadilan dalam masyarakat.
Pembelaan terhadap orang yang tidak mampu mutlak diperlukan. Mereka sering kali mereka awam hukum dan hak-hak mereka sebagai tersangka atau terdakwa. Belum lagi, perlakuan tidak adil dan hambatan kepada mereka untuk didampingi seorang pengacara. Masyarakat awam dan miskin yang dihadapkan dengan permasalahan hukum berpotensi besar menjadi korban ketidakadilan oleh sistem dan ulah oknum penegak hukum yang tidak bertanggung jawab, sehingga peran Pengacara/Advokat untuk mendampingi atau memberi bantuan hukum kepada mereka sangatlah perlu.
B. JAMINAN KONSTITUSIONAL HAK WARGA NEGARA ATAS BANTUAN HUKUM
Hak Atas Bantuan Hukum merupakan hak asasi manusia. Ini tegas dijamin dalam Konstiutsi (UUD 1945), Pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28 D ayat 1 yang berbunyi: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”.
Pasal 17 ayat 1 UUD 45 berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Jaminan konstitusional tersebut lalu diejawantahkan baik melalui undang-undang nasional maupun internasional yang sudah diratifikasi/disahkan Indonesia seperti tertuang UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifiaksi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Lebih spesifik soal pemberian bantuan hukum diatur dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum).
Berdasarkan hal ini, jelas sudah, bahwa bantuan hukum merupakan hak asasi setiap orang yang dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
C. SEJARAH BANTUAN HUKUM
Program bantuan hukum kepada si miskin sudah dimulai sejak zaman romawi. Pemberian bantuan hukum diberikan oleh Patronus[1] didorong oleh motivasi untuk mendapat pengaruh dalam masyarakat. Pemberian bantuan hukum pada tiap zaman erat kaitannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik, dan falsafar yang berlaku.
Pada zaman Abad pertengahan masalah bantuan hukum mendapat pengaruh agama Kristen yaitu keinginan orang untuk berlomba-lomba memberikan derma (Charity) dalam bentuk membantu si miskin dan bersamaan dengan itu pula tumbuh nilai-nilai kemuliaan (nobility) dan kesatriaan (chivalry) yang sangat diagungkan.
Seiring berjalannya waktu, bantuan hukum mengalami banyak perkembangan dari segi motivasi. Mulai dari pemberian bantuan hukum sebagai charity, tanggung jawab profesi, prestige sebuah law firm hingga berkembang menjadi sebuah alat gerakan sosial yang memiliki muatan nilai HAM dan prinsip-prinsip demokrasi.
Pada akhirnya, setelah penantian panjang, Bantuan hukum yang awalnya hanya sifatnya charity berubah menjadi tanggungjawab konstitusional negara. Hal ini dibuktikan Pemerintah Indonesia dengan lahirnya UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. UU Bantuan Hukum terlepas dari kelebihan dan kekurangannya setidaknya telah menegaskan bahwa persoalan bantuan hukum kepada masyarakat miskin merupakan hak warga negara dan negara wajib bertanggungjawab, memenuhi dan menyediakannya.
D. TIPOLOGI BANTUAN HUKUM.
I. Bantuan Hukum Konvensional
Sederhananya, bantuan hukum konvensional adalah pemberian jasa bantuan hukum secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu yang terlibat suatu perkara.
Namun, terdapat kritik yang sangat besar terhadap bantuan hukum konvensional karena tidak membawa perubahan yang signifikan bagi masyarakat miskin dan tertindas. Pekerja bantuan hukum hanya menjadi “pemadam kebakaran” dari segala permasalahan hukum yang ada tanpa mampu mencegah dan menyelesaikan masalah-masalah yang medasar.
II. Bantuan Hukum Struktural (BHS)
BHS adalah tipe bantuan hukum yang melampaui bantuan hukum konvensional baik secara ide, gagasan, paradigma, maupun strategi dan peran yang dilakukan dalam memberikan bantuan hukum. Penggagasnya LBH Jakarta tahun 1970-an.
Pengertian BHS adalah suatu bantuan hukum yang diberikan kepada si miskin dan lemah melalui upaya perubahan suatu struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya yang timpang menuju ke arah suatu struktur yang memberikan peluang bagi pengembangan sumber daya hukum si miskin dan lemah. Jadi bukan merupakan aksi kultrural semata tapi merupakan aksi struktural yang diharapkan dapat mengubah tatanan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.[2]
Todung Mulya Lubis berpendapat bahwa BHS merupakan konsep yang lahir atas pemahaman mendalam tentang tujuan kta bermasyarakat yang sebetulnya hendak memerdekakan bangsa dalam arti sebenarnya, tidak lagi dijajah karena penjajahan itu tidak dibenarkan.[3]
Jadi kemerdekaan di sini adalah kemerdekaan substantif, tidak hanya bebas dari belenggu penjajahan fisik bangsa asing tapi justru kemerdekaan dari segala bentuk penindasan politik, ekonomi, hukum, dan budaya.
Beberapa indikator yang menunjukan tidak adanya kemerdekaan substantif yang terjadi ketika Bantuan Hukum Struktrual pertama kali digagas, yaitu[4]:
-
Dalam bidang politik: adanya pembatasan-pembatasan dalam hal kebebasan berserikat, menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan. Dan proses pengambilan keputusan. Selain itu pemilihan umum tidak bebas.
-
Ekonomi: adanya kebijakan ekonomi yang merugikan pedagang menengah dan kecil, serta konsumen. Kemudian adanya pinjaman luar negeri dari Bank Dunia maupun lembaga keuangan lainnya, yang mengurangi kemerdekaan substantif dalam menentukan arah pertumbuhan ekonomi. Rakyat semakin terpinggirkan karena tidak memiliki alat produksi.
-
Hukum: hukum masih berpihak pada yang kaya dan berkuasa. Rakyat kelas bawah seperti terasing dari hukum, dan pengasingan tersebut terus berlangsung karena didukung oleh aparat birokrasi. Hukum adat dan kebiasaan setempat tidak mendapat tempat. Hukumpun dijalankan secara represif dan merampas kemerdekaan.
-
Budaya: para budayawan, sastrawan, dan masyarakat tidak merdeka. Ada kecenderungan menyepelehkan kehidupan kebudayaan dengan mendewakan pertumbuhan ekonomi, dan ada juga kecenderungna lebuh menghargai piliran-pikiran yang datang dari luar. Kemerdekaan telah tercerabut dari akarnya, dan rakyat banyak terjerembab da;am kebisuan yang dipaksakan.
-
Politk keamanan dan ketertiban (national security approach) menjadi alat represi yang menjauhkan rakyat dari kemerdekaan substantif. Adanya ketidakbebasan membuat partai politik, organisasi sosial, lembaga penelitian, perguruan tinggi, pers, dsb. Reskiko jika tidak patuh adalah recalling, pembredelan dan bukan mustahil kriminalisasi.
-
Pengaruh geopolitik dunia, bantuan luar negeri, kebijakan ekonomi dunia mempengaruhi kebijakan pemerintah dan berdampak terhadap tingkat kemerdekaan substantif.
BHS menginginkan perubahan struktural, perubahan tatanan sosial dari tatanan yang tidak adil menjadi tatanan berkeadilan di mana sumber-sumber daya sosial, ekonomi, politik hukum, dan budaya dikembalikan kembalikan kepada mayortas rakyat.
Daniel S. Lev mengatakan, harus dihindari godaan pengacara untuk memahami dan mempraktekan bantuan hukum standar atau konvensional seperti yang ada sejak masa kolonial[5]
Adnan Buyung Nasution mengatakan, “bahwa di negara-negara berkembang, bantuan hukum bagi orang miskin tidak didasarkan hanya pada motivasi kemanusiaan, melainkan juga harus memiliki motivasi politik. Motivasi politik ini bertujuan untuk mengembangkan masyarakat sehingga masyarakat memahami hak-hak mereka, terutama hak-hak hukum mereka. Selain memahami hak-hak, mereka harus didorong untuk mengembangkan keberanian moral untuk memperjuangkan dan menuntut hak0-hak tersebut. untuk pendidikan politik tersebut, perubahan budaya diperlukan”.[6]
KESIMPULAN
Pengacara/Advokat punya kewajiban hukum memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada mereka yang miskin, lemah, dan buta hukum dan Bantuan hukum harus dipahami sebagai suatu bantuan hukum struktural.
Bantuan hukum merupakan hak warga negara. Itu adalah jaminan konstitusional. Sehingga negara sebagai pemegang kewajiban wajib memenuhi dan menyediakan agar setiap warga negara khususnya mereka yang miskin agar dapat mengakses pengacara (access to justice) dan sebagai implementasi dari amanat konstitusi untuk menegakkan asas equality before the law.
Bantuan Hukum harus dimaknai sebagai suatu gerakan. Gerakan pembebasan untuk merubah sistem, struktur, atau tatanan yang tidak adil menjadi adil, melalui pendekatan-pendekatan hukum maupun non-hukum agar terciptanya keadilan sosial.
Pengacara/Advokat dan pemberi bantuan hukum lainnya punya kewajiban moril untuk membawa perubahan dan perbaikan untuk republik ini. Selain itu sebagai Lawyer kita harus punya prinsip 4 K yaitu Kejujuran, Keberanian, Kebencian pada ketidakadilan, dan Keberpihakan pada yang miskin, lemah, dan buta hukum.
Daftar Pustaka
Buku:
-
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,Jakarta, Sekretariatan Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi RI, 2006.
-
Lev, Daniel S., Legal Aid in Indonesia, The Centre of Southeast Asian Studies, Victoria, 1987.
-
Lubis, Todung, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, LP3ES, Jakarta, 1986.
-
Zainudin, Gerakan Bantuan Hukum Struktural Di Indonesia: Studi Tentang Tipologi Gerakan Bantuan Hukum Struktural Yayasan LBH Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1996.
Undang-Undang:
-
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
-
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
-
Undang-Undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
[1] Istilah ‘patron’ berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh’ .
[2] M. Zainudin, Gerakan Bantuan Hukum Struktural Di Indonesia: Studi Tentang Tipologi Gerakan Bantuan Hukum Struktural Yayasan LBH Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1996, hal. 42.
[3] Todung M Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, LP3ES, Jakarta, 1986, hal 45
[4] Ibid. Hal. 147-150
[5] Daniel S. Lev., Legal Aid in Indonesia, The Centre of Southeast Asian Studies, Victoria, 1987, hal. 3.
[6] Ibid. Hal. 21-22.
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/