Tanggung Jawab Direksi Sebelum dan Setelah Perseroan Berbadan Hukum
Tanggung Jawab direksi dibedakan menjadi 2 yaitu; Tanggung jawab direksi sebelum perseroan memiliki status badan hukum (berbadan hukum) dan setelah perseroan memiliki status badan hukum (belum berbadan hukum).
Tanggung jawab direksi ini berkaitan erat dengan status perseroan, apakah sudah berbadan hukum atau belum. Maka kita perlu tahu dulu kapan perseroan mendapatkan statusnya sebagai suatu badan hukum.
Suatu Perseroan mendapat status sebagai badan hukum pada tanggal diterbitkannya surat keputusan menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai pengesahan badan hukum perseroan (terkait prosedur pendirian perseroan terbatas bisa dilihat di artikel ini
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (UUPT) berbunyi: “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”.
Setelah tahu kapan Perseroan memiliki statusnya sebagai badan hukum, sekarang kita masuk pada tanggung jawabnya. Tanggung jawab direksi atas segala perbuatan hukum Perseroan yang belum berbadan hukum menjadi tanggung jawab direksi secara pribadi dan/atau bersama-sama dengan organ perseroan yang lain seperti Dewan Komisaris atau Pendiri (pemegang saham). Jadi jika perseroan mengalami kerugian maka harta pribadi direksi bisa disita untuk membayar kerugian yang timbul.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 14 ayat (1) UUPT yang menyatakan “perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status Badan Hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan, dan mereka semua bertanggung jawab secara renteng atas perbuatan hukum tersebut”.
Hal ini juga sesuai dengan yurisprudensi (putusan hakim yang terdahulu) yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 520 K/Pdt/1996 yang dalam putusannya pada intinya menyatakan “menghukum para Tergugat I, II, III, dan Tergugat IV (para direksi) untuk membayar baik sendiri-sendiri atau secara tanggung renteng membayar hutangnya kepada penggugat….” (dalam kasus ini, Para direksi membuat perjanjian atas nama Perseroan yang belum berbadan hukum sehingga menurut Mahkamah Agung (MA), tanggung jawabnya masih melekat pada diri pribadi direksi secara sendiri-sendiri atau tanggung renteng dan bukan pada Perseroan).
Selanjutnya, Dalam hal Perseroan sudah berbadan hukum, maka direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perbuatan hukum yang dilakukan atas nama Perseroan. Sehingga jika Perseroan mengalami kerugian, maka yang disita adalah harta perseroan saja. Harta direksi tidak boleh ikut disita.
Hal terakhir ini memang tidak diatur secara tegas dalam UUPT, tapi dari pasal 14 ayat 1 UUPT di atas, kita dapat memahaminya dengan menafsirkan secara terbalik (a contrario). Ditambah lagi dengan beberapa putusan Mahkamah Agung, seperti Putusan MA No. 268 K/Sip/1980, Putusan MA No. 597 K/Sip/1983 yang inti dalam putusannya menganut prinsip bahwa perbuatan hukum direksi atas nama Perseroan yang sudah berbadan hukum, menjadi tanggung jawab Perseroan sebagai badan hukum dan bukan tanggung jawab direksi secara pribadi. Sehingga jika terjadi kerugian, yang boleh disita adalah harta Perseroan dan bukan harta pribadi direksi.
Kesimpulan, perbuatan direksi atas nama perseroan yang belum berbadan hukum menjadi tanggung jawab direksi dan organ perseroan yang lain secara pribadi. Sedang, perbuatan direksi atas nama Perseroan yang sudah berbadan hukum menjadi tanggung jawab Perseroan dan bukan tanggung jawab pribadi direksi lagi. untuk mengetahui tanggung jawab pribadi direksi lebih ditail lagi bisa baca di Tanggung Jawab Pribadi Direktur Dalam Perseroan Terbatas
Dasar Hukum:
- Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
- Putusan Mahkamah Agung No. 520 K/Pdt/1996
- Putusan Mahkamah Agung No. 268 K/Sip/1980
- Putusan Mahkamah Agung No. 597 K/Sip/1983
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/