Apakah Hasil Audit Kantor Akuntan Publik Dapat Dijadikan Sebagai Dasar Perhitungan Kerugian Negara Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi?
Pada beberapa kasus tindak pidana korupsi, penyidik dan penuntut umum menggunakan hasil temuan kantor akuntan publik sebagai dasar perhitungan adanya kerugian negara, terutama pada kasus-kasus dimana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal tersebut menimbulkan perdebatan, apalagi lebih lanjut dalam Surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2016 disebutkan dalam salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara. Lantas apakah hasil audit Kantor Akuntan Publik dapat dijadikan sebagai dasar perhitungan kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu dijelaskan mengenai defenisi kerugian negara, sebagai. Berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”):
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”):
“Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”
Lantas siapa yang berwenang?
Pasal 10 ayat (1) UU BPK :
“BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.”
Pasal 49 ayat (2) huruf c PP No. 60 Tahun 2008:
“BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi : kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden”
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 3 huruf e Perpres No. 192 Tahun 2014, fungsi BPKP antara lain melakukan audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi.
Walau demikian kewenangan BPKP ini telah beberapa kali digugat PTUN hingga tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK), namun pada akhirnya tetap mengakui penghitungan kerugian negara yang dikeluarkan oleh BPKP.
Selain itu juga pernah di uji materil di Mahkamah Konstitusi, Pasal 6 UU KPK dan penjelasannya yang menyatakan KPK memiliki tugas berkoordinasi dengan instansi berwenang, salah satunya BPKP. Uji materi terhadap Pasal 6 UU KPK dan penjelasannya ini diajukan oleh mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Eddie Widiono Suwondho yang juga terdakwa kasus korupsi pengadaan outsourcing roll out Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Disjaya pada 2012. Permohonan uji materil ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Namun dalam pertimbangannya majelis berpendapat KPK dapat pula berkoordinasi dengan instansi lain, serta bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Misalnya, dengan mengundang ahli, meminta bahan dari Inspektorat Jenderal, atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, “Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan) yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya,”.
Berdasarkan uraian diatas jelas yang berwenang menentukan kerugian negara adalah BPK dan BPKP, selain itu, dalam rangka menjalankan tugasnya, KPK sebagaimana dalam pertimbangan Mahkamah dapat berkoordinasi dengan pihak lain termasuk perusahaan yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya. Perlu diketahui bahwa Batasan pertimbangan mahkamah hanya sebatas pada kewenangan yang diberikan kepada KPK, karena uji materil yang dilakukan secara khusus berkaitan dengan KPK, sehingga tidak dapat dimaknai bahwa penuntut umum (non-kpk) dapat menggunakan pertimbangan tersebut untuk menghitung kerugian negara.
Jika Anda memerlukan bantuan hukum, pendampingan, dan pendapat hukum lebih lanjut untuk segera hubungi kami di (021) 6329 683 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. (www.dntlawyers.com)
Terimakasih, semoga bermanfaat.