Indikator Pemberian Amnesti bagi Terdakwa Korupsi di Indonesia

Amnesti merupakan pengampunan hukum yang dapat diberikan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945, dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Instrumen ini biasanya dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres). Berbeda dengan grasi, amnesti dapat diberikan tanpa permohonan terpidana, dengan konsekuensi menghapus seluruh akibat pidana. Hingga kini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang secara rinci mengatur mekanisme pemberian amnesti.

Landasan historis hanya tercatat pada Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1954, namun sifatnya terbatas. Kekosongan hukum ini membuat kewenangan Presiden bersifat diskresi, meskipun tetap memerlukan legitimasi politik DPR. Dalam konteks tindak pidana korupsi, pemberian amnesti menjadi perdebatan serius karena korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime. Beberapa indikator penting yang dapat dijadikan ukuran dalam memberikan amnesti terhadap terdakwa kasus korupsi:

  1. Apakah adanya kepentingan nasional yang mendesak, misalnya rekonsiliasi politik atau stabilitas negara?
  2. Apakah alasan kemanusiaan atau keadilan substantif, misalnya terjadi kesalahan prosedural dalam proses hukum?
  3. Bagaimana pemulihan kerugian negara, khususnya jika terpidana bersedia mengembalikan aset hasil korupsi?
  4. Apakah dukungan politik DPR dan penerimaan publik dalam memberikan amnesti kepada terdakwa korupsi?
  5. Kategori kasus dan sifat pelaku, apakah bernuansa politik atau murni kejahatan pribadi?

Menurut Dr. Zainal Arifin Mochtar, amnesti dan abolisi sejatinya adalah instrumen politik untuk rekonsiliasi nasional, sehingga tidak selayaknya diberikan kepada koruptor tanpa alasan kuat kepentingan bangsa. Sebaliknya, Prof. Yusril Ihza Mahendra menilai amnesti dapat dipertimbangkan jika pelaku mengembalikan kerugian negara, sebagai bentuk restorative justice yang memberi manfaat nyata bagi negara.

Indikator pemberian amnesti bagi narapidana korupsi harus sangat ketat, transparan, serta berorientasi pada kepentingan nasional dan keadilan publik. Tanpa hal tersebut, amnesti berpotensi mencederai rasa keadilan dan melemahkan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Arya Sulistiawan Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Yusril Ihza Mahendra (Menko Polhukam) dalam liputan Desember 2024:  memaafkan koruptor yang kembalikan uang negara sebagai bagian dari rencana amnesti, fokus pada pemulihan aset dan ekonomi nasional.
  • UUD 1945 Pasal 14 ayat (1) dan (2) – mengenai kewenangan Presiden memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi.
  • Zainal Arifin Mochtar (Dosen UGM) dalam liputan UGM 8 Agustus 2025 – amnesti/abolisi adalah bahasa politik untuk rekonsiliasi, tidak semestinya dipakai di kasus korupsi tanpa urgensi nasional.
  • UU Darurat No. 11 Tahun 1954 – (historis) mengatur amnesti dan abolisi secara kasus khusus
Related Posts
WhatsApp chat