Dewasa ini, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjatuhkan putusan bersalah dan hukuman membayar ganti rugi kepada salah satu penyanyi ternama di Indonesia atas perselisihan hukum pelanggaran hak cipta terhadap lagu milik musisi yang berjudul “Bilang Saja.” Dalam petikan amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan penyanyi yang menggunakan lagu musisi tanpa adanya izin dan pembayaran royalti merupakan bentuk pelanggaran hak cipta terhadap lagu tersebut sehingga Majelis Hakim menghukum penyanyi tersebut untuk membayar ganti rugi kepada musisi sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) secara tunai.
Penggunaan lagu berjudul “Bilang Saja” oleh penyanyi dalam pertunjukan komersial dilakukan sebanyak tiga kali, yakni pada tanggal 23 Mei 2023 di W Superclub Surabaya, pada tanggal 26 Mei 2023 di The H Club Jakarta, dan pada tanggal 27 Mei 2023 di W Superclub Bandung. Ketiga pertunjukan komersial tersebut dilaksanakan di sebuah kelab malam.
Pelindungan hukum terhadap hak cipta karya seni berupa musik diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”). Pasal 40 ayat (1) huruf d UU HC secara eksplisit menyatakan bahwa lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks merupakan karya yang dilindungi oleh hak cipta. Untuk itu, pencipta atas karya berupa lagu dan/atau musik dilindungi hak cipta sehingga memiliki hak ekonomi dan hak moral atas lagu tersebut. Pasal 9 ayat (1) UU HC menyatakan hak ekonomi yang dimiliki pencipta terdiri dari:
a. penerbitan ciptaan;
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan ciptaan;
g. pengumuman ciptaan;
h. komunikasi ciptaan; dan
i. penyewaan ciptaan.
Pelindungan terhadap hak ekonomi pencipta, secara umum diatur dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) UU HC yang pada pokoknya mewajibkan setiap orang untuk mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta untuk melaksanakan hak ekonomi dan melarang setiap orang untuk melakukan penggunaan secara komersial atas ciptaan yang dilindungi hak cipta tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta.
Dalam UU HC, penyanyi merupakan pelaku pertunjukan yang diatur pelindungannya atas pertunjukan yang dilakukannya, bahkan pelaku pertunjukan mendapatkan hak ekonomi dan hak moral. Nomenklatur yang digunakan dalam UU HC dalam memberikan pelindungan terhadap pelaku pertunjukan adalah hak terkait. Dalam konteks pertunjukan, ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU HC yang melarang setiap orang melakukan penggunaan secara komersial ciptaan milik orang lain tanpa izin, dikesampingkan oleh ketentuan lain dalam UU HC. UU HC menentukan bahwa pelaku pertunjukan dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan milik orang lain tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dalam suatu pertunjukan dengan syarat membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (“LMK”). Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (6) UU HC yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.”
Berjalannya konser-konser komersial penyanyi tidak dapat terlepas dari adanya peran penyelenggara acara, kecuali penyanyi tersebut menyelenggarakan konser secara independen. Berdasarkan Pasal 23 ayat (6), terdapat unsur ‘setiap orang’ yang diatur. Pasal 1 angka 27 UU HC menentukan bahwa definisi orang yang diatur dalam UU HC adalah orang perseorangan atau badan hukum. Selanjutnya, Pasal 23 ayat (6) UU HC menentukan tindakannya adalah penggunaan secara komersial. Pasal 1 angka 24 UU HC secara eksplisit menyatakan bahwa “Penggunaan Secara Komersial adalah pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.” Dalam penyelenggaraan konser komersial tentu yang mendapatkan manfaat ekonomi adalah penyelenggara acara melalui penjualan tiket atau berbagai sumber lainnya sehingga yang berkewajiban untuk membayar royalti adalah penyelenggara acara sebagai pihak yang menerima manfaat ekonomi dari konser yang diselenggarakannya. Namun, dalam hal konser diselenggarakan oleh penyanyi secara independen tanpa bekerja sama dengan penyelenggara acara, maka kewajiban hukum pembayaran royalti dibebankan kepada penyanyi tersebut.
Aturan pembayaran royalti atas penggunaan ciptaan secara komersial dalam bentuk layanan publik kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (“LMKN”) juga diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP 56/2021”). Pasal 3 ayat (2) PP 56/2021 menentukan bentuk layanan publik terdiri dari:
a. seminar dan konferensi komersial;
b. restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;
c. konser musik;
d. pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;
e. pameran dan bazar;
f. bioskop;
g. nada tunggu telepon;
h. bank dan kantor;
i. pertokoan;
j. pusat rekreasi;
k. lembaga penyiaran televisi;
l. lembaga penyiaran radio;
m. hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan
n. usaha karaoke.
Jumlah pembayaran royalti disesuaikan dengan peraturan kebijakan yang telah ditentukan oleh LMKN, yang mana terdapat perbedaan metode penghitungan untuk setiap penggunaan secara komersial dalam masing-masing bentuk layanan publik. Penarikan pembayaran royalti atas penggunaan lagu dan/atau musik secara komersial dilakukan oleh LMKN, baik pencipta tersebut anggota LMK atau bukan, untuk dihimpun dan didistribusikan kepada pencipta. Perhitungan pembayaran royalti atas penggunaan lagu dan/atau musik secara komersial dalam kelab malam atau diskotek, dilakukan dengan pembayaran untuk penggunaan lagu dan/atau musik satu tahun dengan biaya yang telah ditentukan LMKN untuk selanjutnya dikalikan dengan luas tempat kelab malam atau diskotek tersebut.
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menghukum penyanyi ternama merupakan salah satu produk pengadilan yang kurang tepat karena seharusnya Majelis Hakim yang memeriksa seharusnya menolak gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Berdasarkan uraian di atas, Penggugat tidak semestinya menggugat penyanyi tersebut atas penggunaan lagu dalam konser di kelab malam atau diskotek, melainkan yang seharusnya digugat adalah penyelenggara acaranya. Selain itu, untuk mendapatkan ganti kerugian yang sah dan beralasan secara hukum, penggugat harus membuat rincian secara detail mengenai kerugian yang dialaminya, yakni berupa keuntungan yang seharusnya bisa didapatkan oleh penggugat apabila terdapat pembayaran royalti yang dilakukan oleh penyelenggara acara kepada penggugat melalui LMKN atau LMK.
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599).
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6675).
CNN Indonesia, “Kronologi Perkara Hak Cipta Ari Bias vs Agnez Mo hingga Denda Rp1,5M,” CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20250206203558-227-1195491/kronologi-perkara-hak-cipta-ari-bias-vs-agnez-mo-hingga-denda-rp15-m.
Artikel hukum ini ditulis oleh Mochammad Yufa Sofyan – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).