Di Indonesia, sering kali terjadi kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis. Kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis dapat disebut dengan malpraktik. Dalam hal ini dapat berupa perbuatan disengaja seperti misconduct tertentu atau bisa juga dikarenakan kurang mahir atau ketidakkompetenannya yang tidak beralasan (unreasonable lack of skill) sehingga mengakibatkan luka atau menderita kerugian bagi pihak yang ditangani. Menurut teori atau dokrin, intensional professional misconduct dinyatakan bersalah atau buruk berpraktik jika tenaga medis dalam berpraktik melakukan pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan sengaja.
Berdasarkan UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Pasal 193 menyatakan bahwa “Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang di timbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh sumber daya manusia kesehatan rumah sakit.” Dari pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa rumah sakit akan bertanggung jawab selama terdapat adanya kerugian yang ditimbulkan oleh tenaga medis yang mengambil tindakan medik.
Ketentuan Pasal 193 ini menjadi dasar yuridis bagi seseorang untuk meminta pertanggungjawaban pihak rumah sakit jika terjadi kelalaian tenaga medis yang menimbulkan kerugian atau kecacatan permanen. Berdasarkan rumusan Pasal 193 tersebut, dapat di tafsirkan beberapa hal:
- Rumah sakit bertanggung jawab terhadap kerugian akibat dari kelalaian tenaga medis di rumah sakit;
- Rumah sakit tidak bertanggung jawab atas semua kerugian seseorang jika ternyata terbukti tidak ada tindakan kelalaian dari tenaga medis di rumah sakit;
- Rumah sakit bertanggung jawab terhadap tindakan kelalaian tenaga medis jika kelalaian tersebut dilakukan dan terjadi di rumah sakit.
Rumah sakit sebagai badan hukum (korporasi) dapat dituntut dan diminta pertanggungjawabannya atas tindakan-tindakan malpraktik tenaga medis di rumah sakit, berdasarkan doktrin pembenaran, korporasi dibebani pertanggungjawaban yaitu:
- Doctrine of vicarious liability: ajaran ini diambil dari hukum perdata dalam konteks pertanggungjawaban melawan hukum yang diterapkan pada hukum pidana. Ajaran ini disebut sebagai ajaran pertanggungjawaban pengganti. Seorang majikan bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam ranah pekerjaannya. Hal ini memberikan kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-perbuatan melawan hukum dari mereka itu menggugat majikannya agar membayar ganti rugi. Dengan ajaran ini, korporasi dimungkinkan untuk bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya.
Mengutip dari Pasal 440 ayat 1 “Setiap tenaga medis dan tenaga kesehatan yang melakukan kealpaan yang mengakibatkan pasien luka berat di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah).”
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, jika terjadinya kelalaian oleh tenaga medis yang menimbulkan kerugian atau kecacatan bagi pasien, maka rumah sakit dapat dituntut dan dapat diajukan ke pengadilan untuk bertanggung jawab atas kelalaian atau kesengajaan tersebut dan dikenakan sanksi yang berlaku.
Referensi
Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang kesehatan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Venny Sulistyani, Zulhasmar Syamsu, Pertanggungjawaban Perdata Seorang Dokter Dalam Kasus Malpraktik Medis, Lex Jurnalica, Vol. 12 No. 2 Tahun 2015.
Isfandyarie, A. (2005). Malpraktek & Resiko Medik, Dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Artikel hukum ini ditulis oleh M. Michael Martino – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).