Larangan Bagi Hakim Saat Memeriksa/Mengadili Perempuan?
Semua orang potensi terkena masalah hukum. Anak-anak, orang dewasa, laki-laki maupun perempuan dan sebagainya.
Dalam kasus-kasus yang menimpa perempuan, baik perempuan sebagai tersangka/terdakwa atau sebagai saksi dan/atau korban (disebut juga “perempuan berhadapan dengan hukum”), sudah diatur hal-hal yang dilarang bagi hakim untuk dilakukan saat memeriksa dan megadili perempuan.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum (Perma 3/2017) sebagai berikut:
Dalam pemeriksaan Perempuan Berhadapan Dengan hukum, hakim tidak boleh (Pasal 5 Perma 3/2017):
-
Menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalah dan/atau mengintimidasi Perempuan Berhadapan Dengan Hukum;
-
Membenarkan terjadinya Diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias Gender;
-
Mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan
-
Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung Stereotip Gender.[1]
Disamping itu, dalam memeriksa dan mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum, hakim juga harus (Pasal 6 Perma 3/2017):
-
Mempertimbangkan kesetaraan Gender dan Stereotip Gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis;
-
Melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/ata hukum tidak tertulis yang dapat menjamin Kesetaraan Gender;[2]
-
Menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin Kesetaraan Gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan
-
Mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait kesetaraan Gender yang telah diratifikasi.
Sekian semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 angka 7 Perma 3/2017: “Stereotipe Gender adalah pandangan umum atau kesan tentang atribut atau karakteristik yang seharusnya dimiliki dan diperankan perempuan atau laki-laki.”
[2] Pasal 1 angka 4 Perma 3/2017: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan dan keseimbangan kondisi antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi di berbagai bidang.”
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/